Selasa, 26 Maret 2013

askep tonsilitis


LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PENYAKIT TONSILITIS
 Disusun Untuk Memenuhi Tugas Sensori

Disusun Oleh :
1.          Arifianti Fauziah                                 (05201011115)
2.          Fitria Rahayu Lestari                          (05201011090)
3.          Muhammad Najib Al Haritsi              (05201011150)
4.          Okky Rizki Priyandani                       (05201011016)
5.          Sinta Eva Herlinah                              (05201011051)
6.          Yuli Nur Indah Sari                            (05201011064)
KELAS 2C

STUDY S1 KEPERAWATAN
STIKES BINA SEHAT PPNI
MOJOKERTO
2010
KATA PENGANTAR
 Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami. Sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan pada penyakit tonsilitis”.
Makalah ini berisikan tentang informasi pengertian dari tonsil, fisiologis tonsil  dan penyakit tonsilitis. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang gambaran tonsilitis.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan  demi kesempurnaan ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga  Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.






Mojokerto,  2012

Penulis



BAB 1 
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Tonsil atau yang lebih sering dikenal dengan amandel adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya, bagian organ tubuh yang berbentuk bulat lonjong melekat pada kanan dan kiri tenggorok. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil faringal yang membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil terletak dalam sinus tonsilaris diantara kedua pilar fausium dan berasal dari invaginasi hipoblas di tempat ini.
Tonsillitis sendiri adalah inflamasi pada tonsila palatine yang disebabkan oleh infeki virus atau bakteri. Saat bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil berfungsi sebagai filter/ penyaring menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut dengan sel-sel darah putih. Hal ini akan memicu sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang. Tetapi bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan timbul tonsillitis. Dalam beberapa kasus ditemukan 3 macam tonsillitis, yaitu tonsillitis akut, tonsillitis membranosa, dan tonsillitis kronis. Oleh karena itu penting bagi perawat untuk mempelajari patofisiologi, manifestasi klinis, prosedur diagnostik dan asuhan keperawatan yang komprehensif pada klien tonsilitis beserta keluarganya.


1.2    Rumusan Masalah
1.      Bagaimana anatomi dan fisiologi tonsil?
2.      Bagaimana laporan pendahuluan dari tonsilitis?
3.      Bagaimana asuhan keperawatan dari tonsilitis?





1.3     Tujuan
1.      Untuk medeskripsikan bagaimana anatomi dan fisiologi dari tonsil.
2.      Untuk menjelaskan tentang tonsilitis dari pengertian, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, komplikasi dan penatalaksanaan.
3.      Untuk menjelaskan bagaimana asuhan keperawata pada klien dengan tonsilitis.

1.4  Manfaat
1.      Teoritis :
-          untuk memahami teori-teori tentang penyakit  tonsilitis 
2.      Praktis:
-          Untuk lebih mengetahui gejala dan tanda pada  klien tonsilitis. 
-          Untuk mengetahui penyebab terjadinya tonsilitis.
-          Dapat Mengetahui komplikasi dari tonsilitis














BAB  2
PEMBAHASAN
*           Embriologi tonsil
Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong brakial ke 11 ke dinding faring akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk fosa tonsil pada bagiandorsal kantong tersebut, yang kemudian ditutupi epitel. Bagian yang mengalami invaginasi akan membagi lagi dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta. Kripta tumbuh pada bulan ke 3 hingga ke 6 kehidupan janin, berasal dari epitel permukaan. Pada pertumbuhan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel terseebut dan terjadi nodul pada bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Kapsul dan jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim, dengan demikian terbentuklah massa jaringan tonsil.

*      Anatomi
Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tesebar dalam fosa rosenmuller, di bawah mokosa dinding posterior faring dan dekat orifisum tuba eustachius.
Massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada  kedua sudut orofaring dan di batasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil terbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh tonsil fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagaii fosa supratonsiliar tonsil terletak di lateral orofaring.
Dibatasi oleh:
1.      Lateral - m. Konstriktor faring superior
2.      Anterior - m. Palatoglosus
3.      Psterior - m. Palatofaringeus
4.      Superior - palatum mole
5.      Inferior - tonsilingual 


Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat folikel germinativum ( merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel ( terdiri dari jaringan limfoid).
1.      Fosa tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarrnya adalah otot konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyaii bentuk seperti kipas pada rongga mulut mulai palatum mole, tuba eustachius, dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral esofagus. Sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posteior bersatu di bagian atas pada palatum mole, kearah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangal lidah dan dinding lateral faring.

2.      Kapsul tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini. Tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil mempunyai pembuluh getah bening eferan, sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.

*           Persafan.
Tonsil sebagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.

*           Imunologi tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengndung sel limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50% ; 50%, sedangkan di darah 55- 75% : 15- 30%. Pada tonsil terdapat sistim imun komplek terdiri atas sel  M (sel membran ), makrofag, sel dendrit APCs ( antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen kesel limfosit sehingga tejadi sntesis imuoglobin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgC.

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disentitasi. Tonsil mempuunyai 2 fungsi utama yaitu:
1.              Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif.
2.              Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
Tonsil merupakan kumpulan besar jaringan limfoid dibelakang faring yang memiliki keaktifan munologik. Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar keseluruh tubuh dengan cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung dan tenggorokan, oleh karena itu, tidak jarang tonsil mengalami peradangan.


Gambar : Anatomi Tonsil
2.1 Definisi
Tonsilitis adalah suatu penyakit yang dapat sembuh sendiri berlangsung sekitar lima hari dengan disertai disfagia dan demam (Megantara, Imam, 2006).
Tonsil tidak mampu untuk mengalami resolusi lengkap dari suatu serangan akut kripta mempertahankan bahan purulenta dan kelenjar regional tetap membesar akhirnya tonsil memperlihatkan pembesaran permanen dan gambaran karet busa, bentuk jaringan fibrosa, mencegah pelepasan bahan infeksi (Sacharin, R.M. 1993).
Tonsilitis adalah radang yang disebabkan oleh infeksi bakteri kelompok A streptococcus beta hemolitik, namun dapat juga disebabkan oleh bakteri jenis lain atau oleh infeksi virus (Hembing, 2004).
Tonsilitis adalah suatu peradangan pada hasil tonsil (amandel), yang sangat sering ditemukan, terutama pada anak-anak (Firman sriyono, 2006).
Tonsilitis adalah inflamasi dari tonsil yang disebabkan oleh infeksi (Harnawatiaj, 2006).
Gambar : Perbedaan tonsillitis infeksi bakteri.


2.2  Klasifikasi
Macam-macam tonsillitis menurut Imam Megantara (2006)
1.      Tonsillitis akut
Disebabkan oleh streptococcus pada hemoliticus, streptococcus viridians, dan streptococcus piogynes, dapat juga disebabkan oleh virus.
2.      Tonsilitis falikularis
Tonsil membengkak dan hiperemis, permukaannya diliputi eksudat diliputi bercak putih yang mengisi kipti tonsil yang disebut detritus.
Detritus ini terdapat leukosit, epitel yang terlepas akibat peradangan dan sisa-sisa makanan yang tersangkut.
3.      Tonsilitis Lakunaris
Bila bercak yang berdekatan bersatu dan mengisi lacuna (lekuk-lekuk) permukaan tonsil.


4.      Tonsilitis Membranosa
Bila eksudat yang menutupi permukaan tonsil yang membengkak tersebut menyerupai membran. Membran ini biasanya mudah diangkat atau dibuang dan berwarna putih kekuning-kuningan.
Penyakit-penyakit yang termasuk dalam tonsillitis membranosa adalah :
*      Tonsilitis Septic (Septis Sore Throat)
Penyakit ini dapat menimbulkan epidemic di daerah dimana penduduknya mempunyai kebiasaan minum susu sapi mentah, karena tonsillitis septic di sebabkan oleh Streptococcus hemolyticus yang terdapat di dalam susu sapi. Karena kebiasaan orang Indonesia minum susu yang di masak terlebih dahulu maka penyakit ini sudah jarang ditemukan.
Gejala di awali dengan sakit tenggorok dan sakit menelan tanpa di sertai batuk. Demam timbul mendadak dapat sampai 40 C, sakit kepala hebat, nyeri otot dan sakit punggung.
Pada pemeriksaan tampak mukosa faring dan tonsil bengkak serta hiperemis yang dapat meluas sampai ke uvula. Terdapat bercak eksudat kekuningan (creamy exudates), dan pembesaran kelenjar limfe pada sudut mandibula.
Penatalaksanaan : Terapi meliputi pemberian antibiotic atau sulfa serta obat-obat simtomatik.
*      Angina Plaut Vincent
Angina plaut Vincent disebabkan karena hygiene mulut yang kurang baik serta  defisiensi vitamin C.
Penyakit ini di sebabkan oleh kuman spirilium dan basil fusiform.
Gejala berupa sakit tenggorok, nyeri di mulut, nyeri di gigi, nyeri kepala, badan lemah, kadang-kadang terdapat gangguan pencernaan dan demam tinggi serta mulut berbau.
Pada pemeriksaan tampak membrane semu putih keabuan pada tonsil yang berbentuk dari jaringan nekrotik menutupi ulkus. Ulkus biasanya unilateral tidak teratur dan dalam, dapat melebihi batas tonsil. Kelenjar limfe leher biasanya membesar.
Penatalaksanaan : Menjaga hygiene mulut, Antibiotik (penicillin), Vitamin C & B kompleks, obat kumur.

*      Tonsilitis Difteri
Pada masa lalu frekuensi penyakit ini cukup tinggi, karena imunisasi yang belum sempurna di berikan pada bayi dan anak. Kini frekuensi penyakit ini urun berkat keberhasilan imunisasi.
Penyebab tonsillitis difteri adalah kuman difteri (coryne bacterium diphteriae) yang gram positif. Kuman ini umumnya terdapat di saluran napas bagian atas, yaitu hidung, faring dan laring.
Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Hal ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah seseorang. Umumnya titer antitoksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat di anggap cukup memberikan imunitas. Dasar inilah yang di pakai pada tes Schick.
Penyakit ini sering di temukan pada anak-anak yang berusia kurang dari 10 tahun, dan frekuensi tertinggi ditemukan pada umur 2-5 tahun. Walaupun demikian, orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.
Penyakit ini di tandai dengan adanya membrane semu di tonsil dan di sekitarnya, serta penglepasan eksotoksin, yang dapat menimbulkan gejala umum atau local.
Gambaran klinik menjadi 3 golongan, yaitu gejala umum, gejala local, dan gejala akibat eksotoksin.
Gejala umum sepeti penyakit infeksi lainnya, penyakit ini menimbulkan gejala suhu sub febril, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah serta nadi lambat.
Gejala local berupa keluhan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak di tutupi bercak putih kotor  yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu. Membrane ini meluas ke palatum mole, uvula, nasovaring dan laring, bahkan dapat juga meluas ke trakea dn bronkus. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila di angkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini, bila infeksinya tidak terbendung, kelenjar limfe leher membengkak. Bengkaknya kelenjar limfe leher ini dapat sedemikian rupa, sehingga leher mempunyai leher sapi (bull neck) atau di sebut juga Burgemeester’s hals.
Gejala akibat eksotoksin pada jaringan tubuh, pada jantung, terjadi miokarditis dan dapat mengakibatkan payah jantung (decompensatio cordis). Akibat eksotoksin juga dapat mengenai saraf cranial, khususnya bagian motorik dan mengenai ginjal, sehingga terjadi albuminuria.
Diagnosis : Diagnosis di tegakkan berdasarkan pada gejala klinik. Bila ada fasilitas, di lakukan pemeriksaan laboratorik, pembuatan preparat langsung, kuman, Pengambilan secret sebaiknya dari permukaan bawah membrane semu, sebelum di berikan antibiotika.
Terapi : 1. Berikan ADS segera, tanpa menunggu hasil kultur, dosisnya 20.000-100.000 unit tergantung umur, berat dan lamanya penyakit. 2. Antibiotika, eritromisin atau penisilin selama 14 hari. 3. Kortikosteroid. 4. Simtomatis.
Karena penyakit ini menular, maka perlu di isolasi. Untuk perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu. Pengamatan harus cermat, terhadap timbulnya komplikasi.
Komplikasi : 1. Laringitis difteri. Dapat berlangsung cepat dan makin muda pasien, maikn cepat timbul komplikasi ini. Membran semu ini menjalar ke laring, sehingga menyebabkan gejala sumbatan laring. 2. Miokarditis yang dapat mengakibatkan payah jantung (decompensatio cordis). 3. Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata (terutama otot untuk akomodasi) dan otot faring dan laring, sehingga timbul kesukaran menelan, suara parau dan kelumpuhan otot pernafasan. 4. Albuminuria, sebagai akibat komplikasi ke ginjal.
*      Tonsilitis membranosa pada kasus kelainan darah seperti leukemi akut, anemia pernisiosa, netropenia maligna agranulositosis serta infeksi mononucleosis.
Kelainan darah sebagai penyakit sistemik menimbulkan gejala sistemik dan local dan tidak jarang gejala pertama penyakit kelainan darah ini timbul pada faring atau tonsil.
Pada leukemia akut gejala local berupa timbulnya ulkus dan pembentukan membrane di dalam mulut dan faring, terjadinya perdarahan dari mukosa faring, oral maupun mukosa nasal, pembesaran kelenjar limfe secara menyeluruh serta splenomegali.
Pada anemia pernisosa gejala local berupa stomatitis angularis dan glositis atrofi.
Pada neutropenia maligna (agranulositosis) gejala local berupa pembentukan ulkus yang ekstentif di sertai membrane semu pada tonsil, faring dan mukosa daerah buccal yang di kelilingi oleh reaksi radang. Proses nekrosis dapat berlebihan dan berakibat fatal atau kematian. Penyakit ini di sebabkan oleh terjadinya depresi sum-sum tulang karena obat-obat sitotoksik, kloramfenikol, amidopirin, sulfonamide atau setelah mendapat terapi radiasi. Akibatnya kekebalan tubuh terhadap infeksi sangat berkurang.
Pada infeksi mononucleosis gejala local berupa faringitis akut serta pembentukan ulkus dan membrane. Pembesaran kelenjar limfe secara menyeluruh juga terjadi.
Diagnosis di tegakkan berdasarkan pemeriksaan hematologic.
Penatalaksanaan : Pengobatan kausal oleh sub bagian hematologi, sedangkan secara local dapat di berikan obat-obatan simtomatik misalnya obat kumur, analgetik dan anti inflamasi.
*      Tosilitis membranosa tuberculosis
Tuberculosis pada faring terdapat dalam 3 bentuk yaitu tuberculosis milier akut, ulkus tuberculosis kronik dan lupus vulgaris.
Tuberkulosis milier akut : Pada ttubekulosis milier akut manifestasi penyakitnya berhubungan dengan penyebaran mikoba/kuman dalam aliran darah. Ditemukan erupsi tuberkel di daerah faucius, palatum mole, dasar lidah atau mukosa pipi. Timbul rasa tidak enak pada stadium ini, tetapi bila erupsi meluas membentuk ulkus barulah timbul rasa sakit sekali dan disfagi. Terdapat kecebderungan untuk berdarah dan keluar air liur yang banyak, lender melekat ke daerah yang berulkus. Keadaan umum pasien segera memburuk dan terdapat beberapa jenis gangguan dengan suhu badan yang meningkat.
Ulkus tuberculosis kronik : Selalu berhubungan dengan tuberculosis paru yang lanjut dengan sputum mengandung kuman tuberculosis. Terjadi ulserasi pada faring dan lidah di mana ulkus biasanya terletak pada ujung lidah. Ulkus mempunyai sifat dangkal, tepi tidak teratur dengan dasar yang bersih, pertumbuhan lambat. Ujung saraf masih utuh sehingga timbul rasa nyeri dengan gejala yang ada hubungan dengan disfagi akut.
Penatalaksanaan : Dengan pengobatan spesifik ulkus tuberculosis pada saluran napas bagian atas banyak mengalami perbaikan. Untuk beberapa minggu perubahan lesi hanya sedikit tetapi rasa nyeri cepat menghilang dan segera di susul penyembuhan lesi. Sebaiknya di lakukan tes sensivitas mikroba.
Terapi local biasanya tidak di perlukan kecuali obat kumur serta obat-obat simtomatik.
Lupus vulgaris adalah proses tuberculosis pada kulit. Dalam bidang T.H.T lokasi yang sering ialah di bagian depan septum nasi serta konka inferior dan dari sini dapat menyebar ke muka atau faring.
Pada tenggorok biasanya mengenai palatum mole dan faucius jarang pada tonsil. Bentuk erupsi berupa “apple jelly nodules” yang segera menjadi abu-abu dan lebih padat. Mukosa menjadi keras dan hilang mobilitasnya, nodul akan pecah sehingga permukaan mukosa rusak sehingga tampak daerah granuler. Bila palatum durum terkena maka tulang akan terbuka tetapi tulang tidak terkena proses penyakit. Proses berlangsung sangat kronik dengan kecenderungan menyembuh di sebagian tempat tetapi proses penyakit terus berlanjut sehingga terbentuk sikantriks pada palatum. Uvula dapat mengecil atau lenyap.
Gejala pada tahap awal berupa adanya rasa terbakar dan sakit sedikit pada tenggorok. Tahap selanjutnya kualitas suara akan berubah karena adanya fiksasi pada palatum dan timbulnya disfagi. Pada tahap sangat lanjut dapat terjadi regurgitasi cairan ke dalam hidung.
Diagnosis di tegakkan dengan biopsy dan pemeriksaan patologi anatomic.
Penatalaksanaan : sama seperti tuberculosis faring.
*      Tonsilitis membranosa sifilis.
Lesi sifilis pada faring dapat terjadi pada setiap stadium dari sifilis tetapi yang tersering terlihat adalah stadium dua dimana kuman penyebab spirochaeta menyebar ke seluruh tubuh.
Sifilis primer : lokasi yang biasa adalah bibir atau mulut dapat juga pada tonsil atau pipi. Gambaran lesi berupa proses ulserasi dengan lapisan yang kotor dan dasar yang keras.
Sifilis sekunder : terjadi pada minggu ke 6-8, dimana spirochaeta tersebar ke seluruh tubuh dan menyerang mukosa. Timbul rasa sakit di tenggorok, pembesaran kelenjar limfe secara menyeluruh. Pada faucius dan palatum timbul bercak mucus yang simetris dengan limfadenitis sifilis. Stadium ini sangat infektif.
Sifilis tersier : disini stadium invasive telah lewat tetapi aktifitas local terus berlangsung sehingga untuk beberapa tahun manifestasi penyakit dapat terjadi bersamaan dengan stadium dua. Lesi yang khan adalah guma, sebagai akibat infeksi kronik dari jaringan dengan endarteritis dan nekrosis di daerah yang di lalui arteriol yang terkena. Karena adanya infeksi sekunder menyebabjan pembentukan ulkus yang pinggirnya keras dengan dasar mudah mengelupas. Biasanya mengenai tulang sehingga terjadi perforasi palatum durum, dan jaringan lunak  di sekitarnya. Tonsil dan faring sering terkena pembentukan ulkus. Karena ujung saraf juga terkena maka timbul rasa nyeri sedikit. Pembentukan ulkus pada palatum dan faucius telah terbentuk sebelum pasien mencari pertolongan dokter. Kelenjar limfe regional terkena sebagai akibat infeksi sekunder.
Diagnosis di tegakkan dari pemeriksaan serologic.
Penatalaksanaan : Pengobatan kausal dengan penicillin.
*      Tonsilitis membranosa pada moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis.
Moniliasis : Pada moniliasis etiologinya adalah Candida albicans. Kasus ini di jumpai pada anak debil sesudah mendapat terapi antibiotic local misalnya lozenges atau sistemik. Penderita dapat tanpa gejala atau sedikit rasa tidak enak atau nyeri di tenggorok. Gambaran local berupa membrane tipis putih yang multiple di atas mukosa faring, palatum, lidah dan mulut. Membran ini dengan mudah dapat di angkat tanpa terjadi perdarahan.
Penatalaksanaan : pengobatan dengan nystatin local atau sistemik, atau dengan pengolesan larutan gentian violet 1 %.
Aktinomikosis sebenarnya jarang terjadi pada faring. Gambarannya berupa ulkus yang dalam dengan rongga berisi semacam granul belerang. Diagnosis ditegakkan dengan kultur koloni parasit yang terdapat di dalam granul belerang tersebut.
Penatalaksanaan : pengobatan dengan penicillin dosis tinggi. Pemberian dalam jangka panjang, sedikitnya sampai 2 bulan sesudah sembuh secara klinis.
Blastomikosis pada faring sangat jarang dan merupakan infeksi jamur yang serius. Bila terjadi, gambarannya berupa ulkus pada faring dengan sifat ulkus dangkal dan terbentuk jaringan granulasi.
Penatalaksanaan : pengobatan dengan larutan amphotericin 1 ml empat kali sehari (larutan harus kontak dengan lesi). Bila di tempat lain juga terdapat lesi maka perlu pengobatan sistemik.
*      Tonsilitis membranosa pada skarlatina, morbili dan cacar air.
Skarlatina disebabkan karena penyebaran toksin yang di keluarkan oleh kuman Streptococcus dari infeksi faring dan tonsil. Masa inkubasinya hanya 2-7 hari.
Perjalanan penyakit mendadak, suhu badan meningkat, badan sakit dan menggigil, rasa sakit kepala serta muntah-muntah. Tenggorik terasa sakit dan kelenjar limfe regional membesar disertai rasa nyeri.
Pada stadium awal faring hiperemis atau terdapat pengelupasan berwarna kuning pada tonsil. Pengelupasan dari tonsil ini dapat dengan mudah di angkat. Lidah mengalami perubahan, mula-mula di tutupi oleh semacam bulu kuning di daerah papil lidah (strawberry and cream tongue) kemudian menjadi strawberry tongue atau raspberry tounge setelah bulu hilang penderita harus diisolasi.
Penatalaksanaan : pengobatan dengan penicillin. Penderita harus bebas dari kuman sebelum keluar dari ruang isolasi, untuk itu perlu di lakukan tindakan operatif terhadap tonsil, adenoid, sinus paranasal atau telinga yang telah terinfeksi untuk menghilangkan infeksi dan mencegah terjadinya carrier.
Morbilli disebabkan karena virus dan timbulnya penyakit waktu terjadi epidemic. Massa inkubasi 10-12 hari. Penyakit ini serius terutama pada anak karena kemungkinan terjadinya komplikasi pneumoni.
Gejala penyakit meliputi rhinitis kataralis, diare dan muntah-muntah. Mungkin timbul laryngitis (measles croup).
Pada pemeriksaan tampak mukosa pipi kemerahan dengan bintik koplik yaitu bercak kecil sebesar kepala paku berwarna putih di daerah mukosa pipi berhadapan dengan gigi molar bawah dan di kelilingi eritem. Setelah 4 atau 5 hari timbul gambaran kulit yang khas morbili (morbiliform rash) dan bintik koplik menghilang. Sementara itu mulai timbul faringiis membranosa. Pada anak dengan gizi buruk dapat terjadi gangrene mulut (cancrum oris).
Cacar air erupsi berupa macula atau makulopapula pada kulit dengan penyebaran sentripetal. Lesi dapat mengenai mukosa faring dan pipi pada awal penyakit dan ini dapat di kacaukan dengan herpes berupa vesikel.
Penatalaksanaan : Pengobatan terhadap kausa biasanya di lakukan oleh bagian anak. Dalam bidang T.H.T pengobatan bersifat simtomatik misalnya diberikan analgetik, anti inflamasi serta obat kumur.
5.      Tonsilitis Kronik
Tonsillitis yang berluang, faktor predisposisi : rangsangan kronik (rokok, makanan) pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat dan hygiene mulut yang buruk.
Kuman penyebabnya sama dengan tonsillitis akut,tetapi kadang-kadang kuman berubah,menjadi kuman golongan gram negative.
Pada radang kronis terdapat 2 bentuk, yaitu hipertrofi tonsil atau atrofi tonsil.
Karena proses radang berulang, maka selain epitel mukosa terkikis, jaringan limfoid terkikis juga, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut. Jaringan parut ini sesuai dengan sifatnya, akan mengalami pengerutan. Kelompok jaringan limfoid mengerut, sehingga ruang antara kelompok melebar. Hal ini secara klinik tampak sebagai pelebaran kriptus, dan kriptus ini di isi oleh detritus. Proses berjalan terus, sehingga menembus kapsul, dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak-anak, proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan terisi oleh detritus.
Pasien mengeluh merasa ada yang menghalangi di tenggorok. Kadang-kadang dirasakan tenggorok kering dan pernapasan berbau.
Terapi : terapi local ditujukkan pada hygiene mulut, dengan obat kumur atau obat isap. Sedangkan terapi radikal adalah dengan melakukan operasi tonsilektomi setelah 2 minggu infeksi akut hilang.
Komplikasi : radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya secara infeksi per kontinuitatum, atau ke organ yang jauh, secara hematogen atau limfogen.
Komplikasi ke daerah sekitar tonsil, berupa rhinitis kronis, sinusitis, dan otitis media bias akut maupun kronis.
Komplikasi ke organ yang jauh dari tonsil, seperti endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritis, urtikaria dan furunkulosis.
Indikasi tonsilektomi dan adenoidektomi :
1.      Sumbatan hidung yang menetap oleh adenoid
2.      Sumbatan rongga mulut oleh tonsil yang membesar
3.      Cor pulmonal
4.      Peritonsil yang berulang
5.      Infeksi kelenjar limfe leher berulang
6.      Kecurigaan tumor tonsil
7.      Sindrom “sleep apnea”
8.      Tonsil sebagai fokal infeksi dari organ penting lainnya.



Gambar : Tonsilektomi

2.3 Etiologi
*      Menurut Adams George (1999), tonsilitis bakterialis supuralis akut paling sering disebabkan oleh streptokokus beta hemolitikus grup A.
1. Pneumococcus
2. Staphilococcus
3. Haemalphilus influenza
4. Kadang streptococcus non hemoliticus atau streptococcus viridens.

*      Menurut Iskandar N (1993). Bakteri merupakan penyebab pada 50 % kasus.
1. Streptococcus B hemoliticus grup A
2. Streptococcus viridens
3. Streptococcus pyogenes
4. Staphilococcus
5. Pneumococcus
6. Virus
7.  Virus influenza serta herpes

*      Menurut Firman S (2006)
penyebabnya adalah infeksi bakteri streptococcus atau infeksi virus. Tonsil berfungsi membantu menyerang bakteri dan mikroorganisme lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa dikalahkan oleh bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan meradang, menyebabkan tonsillitis.

2.4  Proses Patologi
Bakteri dan virus masuk masuk dalam tubuh melalui saluran nafas bagian atas akan menyebabkan infeksi pada hidung atau faring kemudian menyebar melalui sistem limfa ke tonsil. Adanya bakteri dan virus patogen pada tonsil menyebabkan terjadinya proses inflamasi dan infeksi sehingga tonsil membesar dan dapat menghambat keluar masuknya udara. Infeksi juga dapat mengakibatkan kemerahan dan edema pada faring serta ditemukannya eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil sehingga menyebabkan timbulnya sakit tenggorokan, nyeri telan, demam tinggi bau mulut serta otalgia. 



2.5 Patofisiologi
Invasi Kuman Patogen (bakteri/virus)

Penyebaran Limfogen

Faring & Tonsil

Proses Inflamasi

   Tonsilitis Akut                                 Hipertermi

             Edema Tonsil                                                              Tonsil dan adenoid membesar

               Nyeri Telan                                                                 Obstruksi pada tuba eustacius

        Sulit makan & minum                             Kurangnya pendengaran           Infeksi sekunder

Resiko perubahan status         Kelemahan                                                            Otitis media
nutrisi < dari kebutuhan
                                           Intoleran aktivitas                                    Gangguan persepsi sensori
                                                                                                            pendengaran
Kurang                                    Resiko
pemahaman                 perdarahan


Kurang                                    Darah di
pengetahuan                saluran nafas

                                    Bersihan jalan
                                    nafas tidak efektif

2.6 Manifestasi Kinis
*      Menurut Megantara, Imam 2006
Gejalanya berupa nyeri tenggorokan (yang semakin parah jika penderita menelan) nyeri seringkali dirasakan ditelinga (karena tenggorokan dan telinga memiliki persyarafan yang sama).
Gejala lain :
1. Demam
2. Tidak enak badan
3. Sakit kepala
4. Muntah

*      Menurut Mansjoer, A (1999) gejala tonsilitis antara lain :
1. Pasien mengeluh ada penghalang di tenggorokan
2. Tenggorokan terasa kering
3. Peernafasan bau
4. Pada pemeriksaan tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kriptus membesar dan terisi detritus
5. Tidak nafsu makan
6. Mudah lelah
7. Nyeri abdomen
8. Pucat
9. Letargi
10. Nyeri kepala11. Disfagia (sakit saat menelan)
12. Mual dan muntah

*      Gejala pada tonsillitis akut :
1. Rasa gatal / kering di tenggorokan
2. Lesu
3. Nyeri sendi
4. Odinafagia
5. Anoreksia
6. Otalgia
7. Suara serak (bila laring terkena)
8. Tonsil membengkak

*      Menurut Smelizer, Suzanne (2000)
Gejala yang timbul sakit tenggorokan, demam, ngorok, dan kesulitan menelan.

*      Menurut Hembing, (2002) :
1. Dimulai dengan sakit tenggorokan yang ringan hingga menjadi parah, sakit saat menelan, kadang-kadang muntah.
2. Tonsil bengkak, panas, gatal, sakit pada otot dan sendi, nyeri pada seluruh badan, kedinginan, sakit kepala dan sakit pada telinga.
3. Pada tonsilitis dapat mengakibatkan kekambuhan sakit tenggorokan dan keluar nanah pada lekukan tonsil.

2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosa tonsilitis akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi :
1. Leukosit : terjadi peningkatan
2. Hemoglobin : terjadi penurunan
3. Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas obat

*      Pemeriksaan Penunjang menurut Firman S (2006), yaitu :
1. Tes Laboratorium
Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada dalam tubuh pasien merupkan bakteri grup A, karena grup ini disertai dengan demam renmatik, glomerulnefritis, dan demam jengkering.

2. Pemeriksaan penunjang
Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.
3. Terapi
Dengan menggunakan antibiotic spectrum lebar dan sulfonamide, antipiretik, dan obat kumur yang mengandung desinfektan.

2.8 Komplikasi
*      Komplikasi tonsilitis akut dan kronik menurut Mansjoer, A (1999), yaitu :
1.      Abses pertonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus group A.
2.      Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan gendang telinga.
3.      Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel mastoid.
4. Laringitis
5. Sinusitis
6. Rhinitis

2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan / Pengobatan
Penatalaksanaan tonsilitis secara umum, menurut Firman S, 2006 :
1. Jika penyebabnya bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut) selama 10 hari, jika mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan dalam bentuk suntikan.
2. Pengangkatan tonsil (tonsilektomi) dilakukan jika :
a. Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.
b. Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 2 tahun.
c. Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 3 tahun.
d. Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.
*      Menurut Mansjoer, A (1999) penatalaksanan tonsillitis adalah :
1. Penatalaksanaan tonsilitis akut
a. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau klindomisin.
b. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.
c. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi kantung selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif.
d. Pemberian antipiretik.
2. Penatalaksanaan tonsilitis kronik
a. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap.
b. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi     konservatif tidak berhasil.
*      Tonsilektomi menurut Firman S (2006), yaitu :
1.      Perawatan Prabedah
Diberikan sedasi dan premedikasi, selain itu pasien juga harus dipuasakan, membebaskan anak dari infeksi pernafasan bagian atas.
2.      Teknik Pembedahan
Anestesi umum selalu diberikan sebelum pembedahan, pasien diposisikan terlentang dengan kepala sedikit direndahkan dan leher dalam keadaan ekstensi mulut ditahan terbuka dengan suatu penutup dan lidah didorong keluar dari jalan. Penyedotan harus dapat diperoleh untuk mencegah inflamasi dari darah. Tonsil diangkat dengan diseksi / quillotine.
Metode apapun yang digunakan penting untuk mengangkat tonsil secara lengkap. Perdarahan dikendalikan dengan menginsersi suatu pak kasa ke dalam ruang post nasal yang harus diangkat setelah pembedahan. Perdarahan yang berlanjut dapat ditangani dengan mengadakan ligasi pembuluh darah pada dasar tonsil.


3. Perawatan Paska-bedah
a. Berbaring ke samping sampai bangun kemudian posisi mid fowler.
b. Memantau tanda-tanda perdarahan
1) Menelan berulang
2) Muntah darah segar
3) Peningkatan denyut nadi pada saat tidur
c. Diet
1) Memberikan cairan bila muntah telah reda
a) Mendukung posisi untuk menelan potongan makanan yang besar (lebih nyaman dari ada kepingan kecil).
b) Hindari pemakaian sedotan (suction dapat menyebabkan perdarahan).
2) Menawarkan makanan
a) Es crem, crustard dingin, sup krim, dan jus.
b) Refined sereal dan telur setengah matang biasanya lebih dapat dinikmati pada pagi hari setelah perdarahan.
c) Hindari jus jeruk, minuman panas, makanan kasar, atau banyak bumbu selama 1 minggu.
3) Mengatasi ketidaknyamanan pada tenggorokan
a) Menggunakan ice color (kompres es) bila mau
b) Memberikan anakgesik (hindari aspirin)
c) Melaporkan segera tanda-tanda perdarahan.
d) Minum 2-3 liter/hari sampai bau mulut hilang.
4) Mengajari pasien mengenal hal berikut
a) Hindari latihan berlebihan, batuk, bersin, berdahak dan menyisi hidung segera selama 1-2 minggu.
b) Tinja mungkin seperti teh dalam beberapa hari karena darah yang tertelan.
c) Tenggorokan tidak nyaman dapat sedikit bertambah antara hari ke-4 dan ke-8 setelah operasi.





BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tonsillitis merupakan  inflamasi pada tonsila palatine yang disebabkan oleh infeki virus atau bakteri. Saat bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil berfungsi sebagai filter/ penyaring menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut dengan sel-sel darah putih. Hal ini akan memicu sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang. Tetapi bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan timbul tonsillitis.
3.2 Saran
1. Menjaga pola  hidup yang sehat
2. Hindarilah makanan yang tidak higenis.
            3.  Menjaga kebersihan lingkungan .











DAFTAR PUSTAKA
Adams, George L. 1997. BOISE Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:EGC.
Arsyad, Efiaty Soepardi, dkk. 1995. Penatalaksanaan Penyakit Dan Kelainan THT. Jakarta:Gaya Baru.
Arsyad, Efiaty Soepardi, dkk. 2000. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Edisi IV. Jakarta:Gaya Baru.
Doengoes, Marilynn D. 1999. Rencana Asuhan Keparawatan. Jakarta:EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:Media Aeus Calpius.
Ngastiyah. 1997. Perawatan anak Sakit. Jakarta:EGC.
Pracy R, dkk.1985. Pelajaran Ringkasan Telinga hidung Tenggorokan. Jakarta:Gramedia.
Price, Silvia.1995.Patofisiologi Konsep Klinis Proses PenyakitJakarta:EGC.
Wilkinson, Judith.2000. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria hasil NOC Edisi 7.Jakarta:EGC.













ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN
DENGAN TONSILITIS
A. Pengkajian
Focus pengkajian menurut Firman S (2006), yaitu :
1. Wawancara
a. Kaji adanya riwayat penyakit sebelumnya (tonsillitis)
b. Apakah pengobatan adekuat
c. Kapan gejala itu muncul
d. Apakah mempunyai kebiasaan merokok
e. Bagaimana pola makannya
f. Apakah rutin / rajin membersihkan mulut
2. Pemeriksaan fisik
Data dasar pengkajian menurut Doengoes, (1999), yaitu :
a. Intergritas Ego
Gejala : Perasaan takut
Khawatir bila pembedahan mempengaruhi hubungan keluarga, kemampuan kerja, dan keuangan.
Tanda : ansietas, depresi, menolak.
b. Makanan / Cairan
Gejala : Kesulitan menelan
Tanda : Kesulitan menelan, mudah terdesak, inflamasi, kebersihan gigi buruk.
c. Hygiene
Tanda : Kesulitan menelan
d. Nyeri / Keamanan
Tanda : Gelisah, perilaku berhati-hati
Gejala : Sakit tenggorokan kronis, penyebaran nyeri ke telinga
e. Pernapasan
Gejala : Riwayat merokok / mengunyah tembakau, bekerja dengan serbuk kayu, debu.


Hasil pemerisaan fisik secara umum di dapat :
1. Pembesaran tonsil dan hiperemis
2. Letargi
3. Kesulitan menelan
4. Demam
5. Nyeri tenggorokan
6. Kebersihan mulut buruk
Pemeriksaan usap tenggorok
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sebelum memberikan pengobatan, terutama bila keadaan memungkinkan. Dengan melakukan pemeriksaan ini kita dapat mengetahui kuman penyebab dan obat yang masih sensitif terhadapnya.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :
Pre Operasi
1. Kerusakan menelan berhubungan dengan proses inflamasi.
2. Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan jaringan tonsil.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
4. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
5. Cemas berhubungan dengan rasa tidak nyaman
Post Operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.
2. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
3. Kurang pengetahuan tentang diet berhubungan dengan kurang informasi.

C. Intervensi
Pre Operasi
Dx 1 : Kerusakan menelan berhubungan dengan proses inflamasi.
NOC : Perawatan Diri : Makan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan terapi menelan selama 3 x24 jam diharapkan tidak ada masalah dalam makan dengan skala 4 sehingga kerusakan menelan dapat diatasi
Kriteria hasil :
1. Reflek makan
2. Tidak tersedak saat makan
3. Tidak batuk saat menelan
4. Usaha menelan secara normal
5. Menelan dengan nyaman
            Skala : 1. Sangat bermasalah
2. Cukup bermasalah
3. Masalah sedang
4. Sedikit bermasalah
5. Tidak ada masalah
NIC : Terapi menelan
Intervensi :
1. Pantau gerakan lidah klien saat menelan
2. Hindari penggunaan sedotan minuman
3. Bantu pasien untuk memposisikan kepala fleksi ke depan untuk menyiapkan menelan.
4. Libatkan keluarga untuk memberikan dukungan dan penenangan pasien selama makan / minum obat.
Rasional:
1.      Untuk mengetahui proses menelan klien.
2.      Agar tidak terjadi perdarahan.
3.      Mempermudah klien dalam proses menelan.
4.      Mempercepat proses penyembuhan pada klien.

Dx 2 : Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan jaringan tonsil.
NOC : Kontrol Nyeri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manejemen nyeri selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah dalam nyeri dengan skala 4 sehingga nyeri dapat hilang atau berkurang
Kriteria hasil :
a. Mengenali faktor penyebab.
b. Mengenali serangan nyeri.
c. Tindakan pertolongan non analgetik
d. Mengenali gejala nyeri
e. Melaporkan kontrol nyeri
Skala : 1. Ekstream
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak Ada
NIC : Menejemen Nyeri
Intervensi :
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
2. Ajarkan teknik non farmakologi dengan distraksi / latihan nafas dalam.
3. Berikan analgesik yang sesuai.
4. Observasi reaksi non verbal dari ketidanyamanan.
5. Anjurkan pasien untuk istirahat.
Rasional:
1.      Mengtahui skala nyeri pada klien.
2.      Mengalihkan perhatian klien dengan rasa nyerinya.
3.      Mengurangi  rasa nyeri pada klien.
4.      Mengetahui kondisi klien.
5.      Membuat klien lebih tenang.

Dx 3: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
NOC : Fluid balance
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manejemen nutrisi selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah nutrisi dengan skala 4 sehingga ketidak seimbangan nutrisi dapat teratasi
Kriteria hasil :
a. Adanya peningkatan BB sesuai tujuan
b. BB ideal sesuai tinggi badan
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.
Skala : 1. Tidak pernah dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang-kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan
NIC : Manajemen nutrisi
1. Berikan makanan yang terpilih
2. Kaji kemampuan klien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
3. Berikan makanan sedikit tapi sering
4. Berikan makanan selagi hangat dan dalam bentuk menarik.
Rasional:
1.      Memenuhi kebutuhan nurisi pada klien.
2.      Mengetahui kurangnya  kebutuhan nutrisi pada klien.
3.      Membantu klien dalam memenuhi kebutuhan nutrisinya.
4.      Agar nafsu makan klien meningkat.
Dx 4: Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
NOC : Termoregulasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan fever treatment selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah dalam suhu tubuh dengan skala 4 sehingga suhu tubuh kembali normal atau turun.
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh dalam rentang normal
b. Suhu kulit dalam batas normal
c. Nadi dan pernafasan dalam batas normal.
Skala : 1. Ekstrem
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
NIC : Fever Treatment
1. Monitor suhu sesering mungkin
3. Monitor tekanan darah, nadi, dan pernafasan.
4. Monitor intake dan output
5. Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam.
Rasional:
1.      Mengetahui suhu pada klien.
2.      Mengetahui tekanan darah, nadi, dan pernafasan pada klien.
3.      Mengetahui intake dan output pada klien. 
4.      Menurunkan demam pada klien.
Dx 5: Cemas berhubungan dengan rasa tidak nyaman
NOC : Kontrol Cemas
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pengurangan cemas selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah dengan kecemasan dengan skala 4 sehingga rasa cemas dapat hilang atau berkurang
Kriteria hasil :
a. Ansietas berkurang
b. Monitor intensitas kecemasan
c. Mencari informasi untuk menurunkan kecemasn
d. Memanifestasi perilaku akibat kecemasan tidak ada
Skala : 1. Tidak pernah dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang-kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan
NIC : Pengurangan Cemas
1. Sediakan informasi yang sesungguhnya meliputi diagnosis, treatmen dan prognosis.
2. Tenangkan anak / pasien.
3. Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan. (takhikardi, eskpresi cemas non verbal)
4. Berikan pengobatan untuk menurunkan cemas dengan cara yang tepat.
5. Instruksikan pasien untuk melakukan teknik relaksasi
Rasional:
1.      Agar klien mengetahui kondisinya.
2.      Mengurangi rasa cemas pada klien.
3.      Mengetahui tingkat kecemasan pada klien.
4.      Membuat klien lebih tenang.
Post Operasi
Dx 6 : Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.
NOC : Level Nyeri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manejemen nyeri selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah tentang nyeri dengan skala 4 sehingga nyeri dapat hilang atau berkurang
Kriteria hasil :
a. Melaporkan nyeri
b. Frekuensi nyeri.
c. Lamanya nyeri
d. Ekspresi wajah terhadap nyeri
Skala : 1. Tidak pernah dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan
NIC : Menejemen Nyeri
Intervensi :
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
2. Ajarkan teknik non farmakologi dengan distraksi / latihan nafas dalam.
3. Berikan analgesik yang sesuai.
4. Observasi reaksi non verbal dari ketidanyamanan.
5. Tingkatkan istirahat pasien.
Rasional:
1.      Mengetahui skala nyeri pada klien.
2.      Mengalihkan perhatian klien pada rasa nyerinya.
3.      Mengurangi rasa nyeri pada klien.
4.      Mengetahui kondisi pada klien.
5.      Membuat klien lebih tenang.

Dx 7 : Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasif.
NOC: Kontrol Infeksi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan kontrol infeksi selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada infeksi dengan skala 4 sehingga resiko infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil:
a. Dapat memonitor faktor resiko
b. Dapat memonitor perilaku individu yang menjadi faktor resiko
c. Mengembangkan keefektifan strategi untuk mengendalikan infeksi.
d. Memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi faktor resiko.
Keterangan Skala :
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Selalu menunjukkan
NIC: Kontrol Infeksi
a. Ajarkan teknik mencuci tangan dengan benar.
b. Gunakan sabun anti mikroba untuk cuci tangan.
c. Lakukan perawatan aseptik pada semua jalur IV.
d. Lakukan teknik perawatan luka yang tepat.
Rasional:
1.      Menghindari klien dari bakteri
2.      Membunuh mikroba pada tangan klien.
3.      Mempercepat proses penyembuhan klien dari infeksi.
4.      Mempercepat proses penyembuhan pada luka.

Dx 8 : Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang mengenal informasi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan pengajaran pengobatan selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah dengan kurang pengetahuan dengan skala 4 sehingga pengetahuan pasien dan keluarga dapat bertambah
NOC : Knowledge: Diet
a. Menyebutkan keuntungan dan diet yang
b. Menyebutkan makanan-makanan yang diperbolehkan
c. Menyebutkan makanan-makanan yang dilarang.
Ket: 1 : Tidak mengetahui
2 : Terbatas pengetahuannya
3 : Sedikit mengetahui
4 : Banyak pengetahuannya
5 : Intensif atau mengetahuinya secara kompleks
NIC : Pengajaran Pengobatan
1. Jelaskan kepada anak dan orang tua tentang tujuan obat.
2. Informasikan kepada anak akibat tidak minum obat.
3. Ajarkan anak untuk minum obat sesuai dnegan dosis.
4. Informasikan kepada anak dan keluarga tentang efek samping
Rasional:
1.      keluarga mengetahui manfaat obat pada klien.
2.      Membuat klien rutin minum obat.
3.      Mentaati  aturan dalam minum obat.
4.      Keluarga  dapat Mengetahui efek samping  dari obat yang di konsumsi oleh klien.