BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang secara primer
menyerang syaraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas
bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot, tulang dan testis. Kusta
menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah
tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit
ini bisa menyerang di mana saja. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara
yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan
ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut
dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Hal ini menyebabkan penyakit
kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, disamping besarnya masalah
di bidang medis juga masalah sosial yang ditimbulkan oleh penyakit ini
memerlukan perhatian yang serius.
Kusta kebanyakan ditemukan di Afrika Tengan dan Asia
Tenggara, dengan angka kejadian di atas 10 per 1.000. hal ini disebabkan
meningkatnya mobilitas penduduk, misalnya imigrasi, pengungsi dan sebagainya.
Sebagaimana yang dilaporkan oleh WHO pada 115 negara dan teritori pada 2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological Record, prevalensi
terdaftar kusta pada awal tahun 2006 adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru
pada tahun sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan
lebih tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta bahwa
proporsi kasus baru yang terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak
lagi dimasukkan ke prevalensi terdaftar. Penemuan secara global terhadap kasus
baru menunjukkan penurunan. Di India jumlah kasus kira-kira 4 juta, pada tahun
1961 jumlah penderita kusta sebesar 2,5 juta, pada tahun 1971 jumlah penderita
3,2 juta dan tahun 1981 jumlah penderita 3,9 juta. Kusta juga banyak ditemykan
di Amerika Tengah dan Selatan dengan jumlah kasus yang tercatat lebih dari
5.000 kasus.
Selama tahun 2000 di Indonesia ditemukan 14.697
penderita baru. Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak
(10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru.
Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%).
Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001
dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002. Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling
banyak menemukan penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391
pada tahun 2002. Propinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru adalah
propinsi adalah Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun
2002.
Permasalahan
penyakit kusta bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat
kompleks bukan hanya dari segi medis tetapi juga menyangkut masalah sosial
ekonomi, budaya dan ketahanan Nasional. Dalam keadaan ini warga masyarakat
berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut
akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena
masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna
sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan
kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat. Hal ini disebabkan rasa takut, malu dan isolasi sosial
berkaitan dengan penyakit ini. Laporan tentang kusta lebih kecil daripada
sebenarnya, dan beberapa negara enggan untuk melaporkan angka kejadian penderita
kusta sehingga jumlah yang sebenarnya tidak diketahui. Melihat besarnya
manifestasi penyakit ini maka perlu dilakukan suatu langkah penanggulangan
penyakit tersebut. Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk
mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian
serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi
menjadi masalah kesehatan masyarakat. Masalah yang dimaksud bukan saja dari
segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan
ketahanan sosial.
Berdasarkan
dari fenomena diatas maka kami mengangkat masalah upaya penanggulangan penyakit
kusta sebagai judul makalah dengan harapan dapat lebih memahami penyakit kusta
dan penanggulangannya.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami mengangkat beberapa permasalahan yang terkait dengan
Penanggulangan penyakit kusta, yaitu sebagai berikut :
1.Bagaimana gambaran umum penyakit kusta ?
2.Apa saja bentuk-bentuk dan gejala penyakit kusta ?
3.Bagaimana transimi penularan penyakit kusta ?
4.Bagaimana penegakan diagnosis penyakit kusta ?
5.Bagaimana penanggulangan penyakit kusta ?
6.Bagaimana upaya pencegahan penyakit kusta ?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
Penulisan makalah ini diharapkan dapat mencapai
beberapa tujuan dalam memahami upaya penanggulangan penyakit kusta, yakni
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui gambaran umum penyakit kusta yang
meliputi definisi , sejarah dan epidemiologi penyakit kusta ?
2.Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk dan gejala
penyakit kusta ?
3.Untuk mengetahui bagaimana transimi penularan
penyakit kusta ?
4.Untuk mengetahui penegakan diagnosis penyakit kusta
?
5.Untuk mengetahui bagaimana penanggulangan penyakit
kusta ?
6.Untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan penyakit
kusta ?
1.4 Manfaat Penulisan Makalah
Melalui
penulisan makalah yang mengangkat masalah upaya penanggulangan penyakit kusta
diharapkan dapat memberikan berbagai manfaat sebagai berikut :
1.
Sebagai bahan informasi bagi masyarakat
2.
Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah agar lebih mengoptimalkan upaya
penanggulangan penyakit kusta melalu kerjasama lintas sektoral.
3.
Sebagai sumber pengetahuan bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa kesehatan
masyarakat agar dapat mengetahui aspek-aspek penting mengenai upaya
penanggulangan penyakit kusta
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gambaran Umum Penyakit
Kusta
A. Definisi Penyakit Kusta
Istilah
kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen,
sesuai dengan nama
yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga
penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
leprae. Penyakit ini
adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan
atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani,
kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf,
anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota
tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath, yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta.
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf
tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan
sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun
infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang,
mungkin beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi
sewaktu masa knak-kanak. Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara
lain, kulit mengalami bercak putih, merah, ada bagian tubuh tidak berkeringat,
rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka, dan mati rasa karena
kerusakan syaraf tepi. Gejalanya memang tidak selalu tampak. Justru sebaiknya
waspada jika ada anggota keluarga yang menderita luka tak kunjung sembuh dalam
jangka waktu lama. Juga bila luka ditekan dengan jari tidak terasa sakit.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah
yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur
yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya
penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria
memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
B. Sejarah
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan
telah dikenal oleh peradaban Tiongkok
kuno, Mesir kuno, dan India. Pada 1995, Penyakit kusta atau lepra menjadi salah satu penyakit tertua yang hingga
kini awet bertahan di dunia. Dari catatan yang ditemukan di India, penderita
kusta sudah ditemukan sejak tahun 600 Sebelum Masehi. Dalam buku City of Joy
(Negeri Bahagia) karya Dominique, mantan reporter untuk sejumlah penerbitan di
Prancis pada dekade 1960-an hingga 1970-an, kusta menjadi penyakit yang 'populer'
dan menjadi bagian dari kehidupan miskin di Calcutta, India. Namun, kuman
penyebab kusta kali pertama baru ditemukan pada tahun 1873 oleh Armauer Hansen
di Norwegia.Karena itu penyakit ini juga sering disebut penyakit Hansen. Saat
ini penyakit kusta banyak terdapat di Benua Afrika, Asia, Amerika Tengah, dan
Amerika Selatan.
Menurut
sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat kita bagi dalam 3 (tiga)
zaman yaitu zaman purbakala, zaman pertengahan dan zaman moderen. Pada zaman
purbakala karena belum ditemukan obat yang sesuai untuk pengobatan penderita
kusta, maka penderita tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan karena
penderita merasa rendah diri dan malu, disamping itu masyarakat menjauhi mereka
karena merasa jijik. Pada zaman pertengan penderita kusta diasingkan lebih
ketat dan dipaksa tinggal di Leprosaria/koloni perkampungan penderita kusta
seumur hidup.
1.
Zaman Purbakala.
Penyakit
kusta dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan
sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM, istilah kusta yang sudah dikenal
didalam kitab Weda, di Tiongkok 600 SM, di Nesopotamia 400 SM. Pada zaman
purbakala tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan penderita merasa
rendah diri dan malu, disamping masyarakat menjauhi penderita karena merasa
jijik dan takut.
2.
Zaman Pertengahan.
Kira-kira
setelah abad ke 13 dengan adanya keteraturan ketatanegaraan dan system feodal
yang berlaku di Eropa mengakibatkan masyarakat sangat patuh dan takut terhadap
penguasa dan hak azasi manusia tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang
terjadi pada penderita kusta yang umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu
itu penyebab penyakit dan obat-obatan belum ditemukan maka penderita kusta
diasingkan lebih ketat dan dipaksakan tinggal di Leprosaria/Koloni Perkampungan
penderita kusta untuk seumur hidup.
3.
Zaman Modern.
Dengan
ditemukannya kuman kusta oleh G.H. Hansen pada tahun 1873, maka mulailah era
perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha penanggulangannya. Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta
ditemukan pada akir 1940-an dengan
diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab
lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar.
Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali.
Demikian
halnya di Indonesia dr. Sitanala telah mempelopori perubahan sistem pengobatan yang tadinya dilakukan secara
isolasi, secara bertahap dilakukan dengan pengobatan jalan. Perkembangan
pengobatan selanjutnya adalah sebagai berikut :
a.
Pada tahun 1951 dipergunakan DDS sebagai pengobatan penderita kusta.
b.
Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di puskesmas.
c.
Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat Kombinasi Multidrug Therapy
(MDT) sesuai dengan rekomendasi WHO.
C. Epidemiologi
Penyakit Kusta
a. Epidemiologi Secara Global
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian
besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya
perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja.
Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang
diperkirakan menderita kusta. Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003
menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita terbesar,
diikuti oleh Brasil dan Myanmar. Pada 1999, insidensi penyakit kusta di dunia diperkirakan 640.000, pada 2000, 738.284 kasus ditemukan. Pada 1999, 108 kasus
terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar 91 negara yang endemik
kusta. 70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus
ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta
dunia terdapat di Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal.
Daerah
|
Prevalensi terdaftar
(rate/10,000 pop.)
|
Kasus baru yang ditemukan pada tahun
|
||||
Awal 2006
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
|
40.830 (0.56)
|
39.612
|
48.248
|
47.006
|
46.918
|
42.814
|
|
32.904 (0.39)
|
42.830
|
39.939
|
52.435
|
52.662
|
41.780
|
|
133.422 (0.81)
|
668.658
|
520.632
|
405.147
|
298.603
|
201.635
|
|
Mediterania Timur
|
4.024 (0.09)
|
4.758
|
4.665
|
3.940
|
3.392
|
3.133
|
8.646 (0.05)
|
7.404
|
7.154
|
6.190
|
6.216
|
7.137
|
|
Total
|
219.826
|
763.262
|
620.638
|
514.718
|
407.791
|
296.499
|
Situasi global
Tabel 1
menunjukkan penemuan kasus secara global menurun sejak 2001.
Tabel 2: Prevalensi dan Penemuan
|
||||||
Negara
|
Prevalensi
terdaftar
(rate/10,000
pop.)
|
Penemuan kasus
baru
(rate/100,000
pop.)
|
||||
Awal 2004
|
Awal 2005
|
Awal 2006
|
Selama 2003
|
Selama 2004
|
Selama 2005
|
|
79.908 (4.6)
|
30.693 (1.7)
|
27.313 (1.5)
|
49.206 (28.6)
|
49.384 (26.9)
|
38.410 (20.6)
|
|
6.891 (1.3)
|
10.530 (1.9)
|
9.785 (1.7)
|
7.165 (13.5)
|
11.781 (21.1)
|
10.737 (18.7)
|
|
5.514 (3.4)
|
4.610 (2.5)
|
2.094 (1.1)
|
5.104 (31.1)
|
3.710 (20.5)
|
2.709 (14.6)
|
|
6.810 (3.4)
|
4.692 (2.4)
|
4.889 (2.5)
|
5.907 (29.4)
|
4.266 (22.0)
|
5.371 (27.1)
|
|
7.549 (3.1)
|
4.699 (1.8)
|
4.921 (1.8)
|
8.046 (32.9)
|
6.958 (26.2)
|
6.150 (22.7)
|
|
5.420 (1.6)
|
4.777 (1.3)
|
4.190 (1.1)
|
5.279 (15.4)
|
5.190 (13.8)
|
4.237 (11.1)
|
|
Total
|
112.092
|
60.001
|
53.192
|
80.707
|
81.289
|
67.614
|
Tabel 2 menunjukkan situasi kusta pada enam negara
utama.
Sebagaimana yang dlaporkan oleh WHO pada 115 negara
dan teritori pada 2006 dan diterbitkan
di Weekly Epidemiological Record, prevalensi terdaftar kusta pada awal
tahun 2006 adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru pada tahun sebelumnya
adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan lebih tinggi dari
prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta bahwa proporsi kasus baru
yang terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak lagi dimasukkan ke
prevalensi terdaftar. Penemuan secara global terhadap kasus baru menunjukkan
penurunan.
b. Epidemiologi Kusta di Indonesia
Penyakit
ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar
keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang,
penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan
kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini
dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia
diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang
datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.
Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta
terdaftar di Indonesia sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar
ini membuat Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai
eliminasi kusta sesuai target yang ditetapkan oleh WHO yaitu tahun 2000.
Prevalensi Penderita Kusta
Pada akhir tahun 2000 di seluruh Indonesia terdaftar
17.539 kasus yang mendapat pengobatan MDT. Gambaran ini menurun menjadi 17.137
kasus pada desember 2001, akan tetapi terjadi peningkatan pada tahun 2002
menjadi 19.100 kasus. Dengan sendirinya PR per 10.000 penduduk menurun dari
0,99 menjadi 0,86 dan 0,84 yang kemudian meningkat lagi menjadi 0,92.
Pada tahun 2001, PR di tingkat propinsi mempunyai
variasi yang sangat lebar DI Yogyakarta (0,09) dan tertinggi di Propinsi Papua
(5,99). Sedangkan pada tahun 2002 PR terendah di propinsi DI Yogyakarta (0,0)
dan terendah di Maluku utara (6,72). Dari gambaran prevalendi di propinsi,
terlihat bahwa kebanyakan propinsi yang belum dapat mencapai eliminasi terletak
di Kawasan Indonesia Timur dan daerah yang sering terjadi konflik.
Angka Penemuan Penderita Baru
Selama tahun 2000 ditemukan 14.697 penderita baru.
Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama
tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini
10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah
penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan 1.305 kasus
(8,9%) pada tahun 2002.
Angka penemuan penderita baru pada tahun 2000 adalah7,22
per 100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2001 turun manjadi 6,91 dan naik
pada tahun 2002 yaitu 7,05 per 100.000 penduduk. Di tingkat propinsi pada tahun
2001 angka penemuan tertinggi terdapat di Propinsi Papua (49,65) dan terendah
di propinsi Lampung (0,50), sedangkan pada tahun 2002 tertinggi dopropinsi
papua (39,55) dan terendah di Propinsi Bengkulu (0,250. Cakupan penderita
dengan MDT 100%, sedangkan Puskesmas yang melaporkan penderita kusta sebanyak
4900 dengan angka kesembuhan lebih dari 90%
Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak
menemukan penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun
2002. Propinsi yang paling sedikit menemukan kasusu baru adalah propinsi adalah
Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002. Indonesia
memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan penyakit kusta. Jawa Timur
termasuk di dalamnya.. Jatim menyandang beban sebagai daerah rawan ini bersama
Irian Jaya bagian barat, Papua, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Aceh, dan DKI
Jakarta.
c. Epidemiologi Kusta Di Sulawesi Tenggara
Penderita
penyakit kusta pada tahun 2005 di Sulawesi Tenggara sebanyak 267 penderita
sedangkan pada tahun 2006 sebanuyak 264 penderita tersebar di semua kabupaten
yaitu kabupaten konawe 21, kabupaten muna 26 penderita, kabupaten kolaka
sebanyak 41 penderita, kabupaten buton sebanyak 48 penderita, kota kendari
sebanyak 32 pendeita, kota Bau-bau sebanyak 45 penderita, kabupaten Konawe
Selatan sebanyak 5 penderita, Kab.Bombana sebanyak 19 penderita. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut
ini :
No
|
Kabupaten/Kota
|
Penderita
|
Jml Penduduk
|
Prevalensi/10.000 pnddk
|
||
PB
|
MB
|
Total
|
||||
1.
|
Konawe
|
1
|
20
|
21
|
255.283
|
1
|
2.
|
Muna
|
2
|
24
|
26
|
296.003
|
1
|
3.
|
Kolaka
|
2
|
40
|
41
|
264.149
|
2
|
4.
|
Buton
|
11
|
37
|
48
|
270.100
|
2
|
5.
|
Kota Kendari
|
2
|
30
|
32
|
227.190
|
1
|
6.
|
Kota Bau-bau
|
4
|
41
|
45
|
121.416
|
4
|
7.
|
Konawe Selatan
|
1
|
4
|
5
|
226.734
|
0
|
8.
|
Bombana
|
5
|
14
|
19
|
106.181
|
2
|
9.
|
Kolaka Utara
|
4
|
9
|
13
|
96.784
|
1
|
10
|
Wakatobi
|
0
|
14
|
14
|
95.574
|
1
|
Jumlah
|
31
|
233
|
264
|
1.959.414
|
1,3
|
Sumber :seksi Penyakit Menular Langsung (PML) subdin P2 Dinkes Prov. Sultra
Tahun 2006
2.2 Bentuk-bentuk dan Gejala Penyakit Kusta
A. Klasifikasi Penyakit Kusta
1. Tujuan klasifikasi
Ø Untuk menentukan rejimen pengobatan, prognosus dan
komplikasi
Ø Untuk perencanaan operasional, misalnya menemukan
pasien-pasien yang menular yang mempunyai nilai epidemiologis tinggi sebagai
target utama pengobatan.
Ø Untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan
menderita cacat.
2. Jenis klasifikasi yang umum
A. Klasifikasi Internasional (1953)
Ø Indeterminate (I)
Ø Tuberkuloid (T)
Ø Borderline-Dimorphous (B)
Ø Lepromatosa (L)
B. Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi
Ridley-Jopling (1962)
Ø Tuberkoloid (TT)
Ø Boderline tubercoloid (BT)
Ø Mid-berderline (BB)
Ø Borderline lepromatous (BL)
Ø Lepromatosa (LL)
C. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta
/klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988)
Ø Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan
BTA negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut
klasifikasi Madrid.
Ø Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut
kriteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta
dengan BTA positif.
Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus
diklasifikasikan sebagai berikut :
1. bila pada mulanya didiagnosis tepe MB, tetapi
diobati sebagai MB apapun hasil pemeriksaan BTA-nya saat ini.
2. bila awalnya didiagnosis tipe PB, harus dibuat
klasifikasi baru berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.
Tabel 1. perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi
WHO
PB
|
MB
|
|
1. Lesi kulit (makula yang
datar, papul yang meninggi,infiltrat, plak eritem, nodus)
2. kerusakan saraf(menyebabkan
hilangnya senasasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)
|
Ø 1-5 lesi
Ø Hipopigmentasi/eritema
Ø Distribusi tidak simetris
Ø Hilangnya sensasi yang jelas
Ø Hanya satu cabang saraf
|
Ø > 5 lesi
Ø Distribusi lebih simetris
Ø Hilangnya sensasi kurang
jelas
Ø Banyak cabang saraf
|
** Semua pasien dengan BTA positif, apapun klasifikasi
klinisnya diobati dengan MDT-MB
Kekebalan selular (cell mediated immunity =
CMI) seseorang yang akan menentukan, apakah ia akan menderita kusta bila ia
mendapat infeksi M.leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya dalam
spektrum penyakit kusta.
Karakteristik
|
Tuberkuloid (TT)
|
Borderline tuberculoid (BT)
|
Indeterminate (I)
|
Lesi
Tipe
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Sensibilitas
BTA
Pada lesi kulit
Tes lepromin
|
Makula dibatasi infiltrat
Satu atau beberapa
Terlokalisasi &
asimetris
Kering, skuama
Hilang
Negatif
Positif kuat (3+)
|
Makula dibatasi infiltrat
saja
Satu dengan lesi satelit
Asimetris
Kering, skuama
Hilang
Negatif atau 1 +
Positif (2 +)
|
Makula
Satu atau beberapa
Bervariasi
Dapat halus agak berkilat
Agak terganggu
Biasanya negatif
Meragukan (1 +)
|
Tabel 2. gambaran klinis tipe PB
Karakteristik
|
Lepromatosa (LL)
|
Borderline lepromatosa (BL)
|
Mid-borderline (BB)
|
Lesi
Tipe
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Sensibilitas
BTA
Pada lesi kulit
Pada hembusan hidung
Tes lepromin
|
Makula, infiltrat difus,
papul, nodus
Banyak, distribusi luas,
praktis tidak ada kulit sehat
simetris
Kering, skuama
Halus dan berkilap
Todak terganggu
Banyak (globi)
Banyak (globi)
negatif
|
Makula, plak, papul
Banyak, tapi kulit sehat
masih ada
Cenderung simetris
Halus dan berkilap
Sedikit berkurang
Banyak
Biasanya tidak ada
negatif
|
Plak, lesi berbntuk kubah,
lesi punched-out
Beberapa, kulit sehat (+)
asimetris
sedikit berkilap, beberapa
lesi kering
berkurang
agak banyak
tidak ada
biasanya negatif, dapat juga
(±)
|
Tabel 3. Gambaran klinis tipe MB
Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien
mencerminkan tingkat kekebalan selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang
banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan
Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan
gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang
klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan.
1.Tipe tuberkoloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit
bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada
bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau cemntral healing.
Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai
gambaran psoriasis atau tinea sirsnata. Dapat disertai penebalan saraf perifer
yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi
tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons imun
pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
2.Tipe borderline tubercoloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa
makula atau plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi
dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau
skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe
tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak
dekat saraf perifer yang menebal.
3.Tipe mid borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua
tipe dalam spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan
bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan
lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi
tipe BT dan cenderung simetris. Leso sangat bervariasi, baik dalam ukuran,
bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan
ciri khas tipe ini.
4.Tipe borderline lepromatosa
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya
hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula
lebih jekas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan
nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa
nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah tampak normal
dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya,
dan beberapa plak tampak seperti punched-out. Tanda-tanda kerusakan saraf
berupa hilangnya sensasi, hipipigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya
rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat
teraba pada tempat predileksi.
5. Tipe lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus,
lebih eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak
ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah
mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Sedang dibadan mengenai bagian
badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai
bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping
telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina
yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratis. Lebih lanjut lagi dapat
terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe,
orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas
menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi
progresif, muncul makula dan papul baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan
nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi
hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan
kaki.
Salah
satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan
jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe
indeterminate (I). lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit
sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka,
kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi atau sedikit penebalan saraf.
Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan, bila dengan pemeriksaan
histopatologik.
Tanda-tanda
penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini
hanya akan disajikan tanda-tanda secara umum tidak terlampau mendetail, agar
dikenal oleh masyarakat awam, yaitu:
Ø Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh
manusia
Ø Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi
lama-lama semakin melebar dan banyak.
Ø Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris,
medianus, aulicularis magnus seryta peroneus.
Ø Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi
tipis dan mengkilat.
Ø Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig
tersebar pada kulit
Ø Alis rambut rontok
Ø Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies
leomina (muka singa)
Gejala-gejala
umum pada lepra, reaksi :
Ø Panas dari derajat yang rendah sampai dengan
menggigil.
Ø Anoreksia.
Ø Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
Ø Cephalgia.
Ø Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan
Pleuritis.
Ø Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan
hepatospleenomegali.
Ø Neuritis.
|
Jenis Paucibacillary
Terdapat satu atau beberapa tompok yang mati rasa
(kebas) atau tompok-tompok merah yang tidak gatal.
Penyakit kusta ini tidak berjangkit, tetapi bila
lambat diubati akan menimbulkan kecacatan.
|
Jenis
Multibacillary
Ø Tompok putih-kemerahan yang
merebak di seluruh kulit badan
Ø Tanda-tanda awal dari jenis
ini sering terjadi pada cuping telinga dan muka
Ø Kusta jenis ini boleh berjangkit
|
|||
2.3 Transmisi Penularan Penyakit Kusta
A. Organisme Penyebab Penyakit
Kusta
Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae.
Dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk
batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1 – 8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan
bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan
terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan
sebagai basil “tahan asam”. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat juga
golongan organisme patogen (misalnya Microbacterium tubercolose, mycrobakterium
leprae) yang menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis
granuloma infeksion. M. leprae belum dapat dikultur pada laboratorium. Kuman Mycobacterium Leprae menular kepada manusia
melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian kuman
membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga lima
tahun. Setelah lima tahun, tandatanda seseorang menderita penyakit kusta mulai
muncul antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian
anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
B. Patogenesis
Meskipun
cara masuk M.leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti,
beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa tersering ialah melalui kulit
yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas
seseorang, kemampuan hidup M.leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu
regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.
M.leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat pada sel
makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwan di
jaringan saraf. Bila kuman M.leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh
akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel
mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas
selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga
kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas
selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya
setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid
yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia
langhans. Bila infeksi ini tidak segera di atasi akan terjadi reaksi berlebihan
dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya.
Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan
M.lepare, disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya
sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas
tubuh dalm sel Schwan, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya
aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang
progresif.
C. Reservoir
Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang
diketahui berperan sebagai reservoir. Di Lusiana dan Texas binatang armadillo
liar diketahui secara alamiah dapat menderita penyakit yang mempunyai kusta
seperti pada percobaan yang dilakukan dengan binatang ini. Diduga secara
alamiah dapat terjadi penularan dari armadilo kepada manusia. Penularan
kusta secara alamiah ditemukan terjadi pada monyet dan simpanse yang ditangkap
di Nigeria dan Sierra Lione.
D. Cara penularan
Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui
dengan jelas penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam
waktu yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil
dikeluarkan melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe lepromatosa yang
tidak diobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung
yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa dapat menjadi sumber
penyebar basil. Organisme kemungkinann masuk melalui saluran pernafasan atas
dan juga melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu
tahun, penularannya diduga melalui plasenta.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh
manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa
kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan
bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat
laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka
tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan
adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini
membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar
keringat. Pentingnya
mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Jumlah dari
bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara
10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien
lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan
Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi
10.000.000 organisme per hari.
Cara-cara
penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang
diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput
lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta
adalah:
a.
Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang
sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
b.
Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun,
keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak
yang lama dan berulang-ulang.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta
tipe multi basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung.
Penularan yang pasti belum diketahui, tapi sebagian besar para ahli berpendapat
bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit.
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti
tergantung dari beberapa faktor antara lain :
a. Faktor sumber penularan
Adalah penderita kusta tipe MB. Penderita Multi
Basiler ini pun tidak akan menularkan kusta apabila berobat teratur.
b.
Faktor kuman kusta
Kuman
kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu
dan cuaca dan diketahui kuman kusta yang utuh yang dapat menimbulkan penularan.
c. Faktor daya tahan tubuh
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta.
Dari hasil penelitian menunjukkan gambar sebagai berikut dari 100 orang yang
terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, 2
orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan.
Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta,
dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan
pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula
mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor
ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.
Masa
inkubasi pasti dari
kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa
inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu,
berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum
dilaporkan selama 30 tahun Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan
kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Dengan rata-rata adalah 4 tahun untuk
kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa. Penyakit ini
jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia 3 tahun; meskipun, lebih
dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak dibawah usia 1 tahun, yang paling
muda adalah usia 2,5 bulan. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi
rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
F. Kerentanan dan kekebalan
Kelangsungan dan tipe penyakit kusta sangat tergantung
pada kemampuan tubuh untuk membentuk “cell mediated“ kekebalan secara
efektif. Tes lepromin adalah prosedur penyuntikan M. Leprae yang telah
mati kedalam kulit; ada tidaknya indurasi dalam 28 hari setelah penyuntikan
disebut dengan reaksi Mitsuda. Reaksi Mitsuda negatif pada kusta jenis
lepromatosa dan positif pada kusta tipe tuberkuloid, pada orang dewasa normal.
Karena tes ini hanya mempunyai nilai diagnosis yang terbatas dan sebagai
pertanda adanya imunitas. Komite Ahli Kusta di WHO menganjurkan agar penggunaan
tes lepromin terbatas hanya untuk tujuan penelitian. Angka hasil tes yang
positif akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Sebagai tambahan
tingginya prevalensi transformasi limfosit yang spesifik terhadap M. leprae dan
terbentuknya antibodi spesifik terhadap M. leprae diantara orang yang
kontak dengan penderita kusta menandakan bahwa penularan sudah sering terjadi
walaupun hanya sebagian kecil saja dari mereka yang menunjukan gejala klinis
penyakit kusta. Pola klinis penyakit ini ditentukan oleh respons imunitas yang
diperantarai sel (cell-mediated imunity) host terhadap organisme. Bila
respons imunitasnya baik, maka timbul lepra tuberkuloid, dimana kulit dan
saraf-saraf perifer terkena. Lesi kulit berbentuk tunggal. Atau hanya beberapa,
dan berbatas tegas. Bentuknya verupa makula atau plak dengan hipopigmentasi
pada kulit yang gelap. Terdapat anestesi pada lesi, hilangnya keringat, dan
berkurangnya jumlah rambut. Penebalan cabang-cabang saraf kulit dapat diraba
pada daerah lesi tersebut, dan saraf perifer yang besar juga dapat diraba. Tes
lepromin positif kuat. Gambaran histologis berupa granuloma tuberkoloid yang
jelas, dan tidak ditemukan adanya basil pada pewarnaan Ziehl-Nielsen yang dimodifikasi.
Bila respons imunitas selulernya rendah, maka multiplikasi kuman menjadi tak
terkendali dan timbul bentuk lepralepromatosa. Kuman menyebar tidak hanya pada
kulit, tetapi juga mukosa saluran respirasi, mata, testis, dan tulang. Lesi
kulit berbentuk multipel dan nodular. Tes lepromin negatif. Pada pemeriksaan
histologi berupa granuloma yang difus pada dermis, dan ditemukan basil dalam
jumlah yang banyak.
Di antara kedua bentuk lepra yang ekstrem tadi,
terdapat spektrum penyakit ini yang disebut dengan lepra borderline, di mana
gambaran klinis dan histrologisnya menggambarkan berbagai derajat respons
imunitas seluler terhadap kuman. Tidak ada tes diagnostik lepra yang absolut,
yaitu diagnosis yang berdasrakan pada gambaran klinis dan histologis. Lepra
tuberkoloid biasa diobati dengan kombinasi dapson dan rifampisin selama 6
bulan, sementara lepra lepromatosa dapat diobati dengan dapson, rifampisin dan
klofazimin paling tidak selama 24 bulan. Pengobatan lepra mungkin dipersulit
dengan adanya reaksi kusta yang dipengaruhi oleh imunitas, dan harus diamati
oleh seseorang yang berpengalaman dalam hal penanganan lepra.
2.4 Diagnosa Penyakit Kusta
Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip
dengan banyak penyakit lain. Sebaliknya banyak penyakit lain dapat menunjukkan
gejala yang mirip dengan penyakit kusta. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan
untuk mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan membedakannya dengan
berbagai penyakit yang lain agar tidak membuat kesalahan yang merugikan pasien.
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda utama),
yaitu :
1.Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar
(makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau
sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau
tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu :
a. gangguan fungsi sensoris : mati rasa
b. gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis
c. gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak,
edema, pertumbuhan rambut yang terganggu.
3. Ditemukannya kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga
dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi
kulit dan saraf. Untuk menegakkan diagnosis ppenyakit kusta, paling sedikit
harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan,
maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan
diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau
disingkirkan.
Untuk menetapkan diagnosa kusta perlu dicari
tanda-tanda pokok pada badan yaitu :
a. Adanya kelainan kulit dapat berupa hipopigmentasi
(seperti panu), bercak-eritem (kemerah-merahan), infiltrasi (penebalan
kulit), nodul (benjolan).
b. Berkurang sampai hilang rasa pada kelainan kulit
tersebut di atas.
c. Penebalan syaraf tepi.
d. Adanya kuman tahan asam didalam korekan jaringan
kulit (BTA Positif).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bila mana
terdapat sekurang-kurangnya 2 dari tanda-tanda pokok yang ditemukan atau bila
terdapat BTA Positif. Dan bila ragu-ragu orang tersebut diangap sebagai suspek
dan diperiksa ulang setiap tiga bulan sampai diagnosa kusta atau penyakit lain
dapat ditegakkan.
Menyatakan
(mendiagnosa seseorang menderita penyakit kusta menimbulkan berbagai masalah
baik bagi penderita, keluarga atapun masyarakat disekitarnya). Bila ada
keraguan-raguan sedikit saja pada diagnosa, penderita harus berada dibawah
pengamatan hingga timbul gejala-gejala yang jelas, yang mendukung bahwa
penyakit itu benar-benar kusta. Diagnosa kusta dan kelasifikasi harus dilihat
secara menyeluruh dari segi :
a.
Klinis
b.
Bakteriologis
c.
Immunologis
d.
Hispatologis
Namun
untuk diagnosa kusta di lapangan cukup dengan anamnese dan pemeriksaan klinis.
Bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan
bakteriologis. Kerokan dengan pisau skalpel dari kulit, selaput lendir hidung
bawah atau dari biopsi kuping telinga, dibuat sediaan mikrokopis pada gelas
alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen. Biopsi kulit atau saraf yang
menebal memberikan gambaran histologis yang khas. Tes-tes serologik bukan
treponema untuk sifilis sering menghasilkan positif palsu pada lepra.
Diagnosa klinis juga dapat ditegakkan dengan melakukan
pemeriksaan kulit secara lengkap dengan menemukan tanda-tanda terserangnya
syaraf tepi berupa gejala hipestasia, anesthesia, paralysis pada otot dan ulkus
tropikum. Untuk mengetahui apakah terjadi pembesaran dan pengerasan syaraf
tepi, dilakukan palpasi bilateral, untuk n. ulnaris dilakukan pada bahu
dan untuk n. peronealis pada caput bibulae. Begitu pula dilakukan
pemeriksaan terhadap n. auricularis major. Dilakukan tes terhadap
sensasi kulit dengan rabaan halus, ditusuk dengan jarum pentul, diskriminasi
suhu. Untuk diagnosa banding harus dibedakan dengan penyakit lain yang
menimbulkan penyakit kulit yang infiltratif seperti limfoma, lupus eritomatosa,
psoriasis, skleroderma dan neurofibromatosis. Leishmaniasis difosa, infeksi
jamur pada kulit, myxedema, kulit pachydernoperiostosis, gejala
klinisnya dapat mirip dengan kusta tipe lepromatosa, namun tidak ditemukan
bakteri tahan asam. Sedangkan karena kekurangan gizi, nevus dan jaringan parut
pada kulit dapat mirip dengan kusta tipe tuberkuloid.
Diagnossa kusta tipe lepromatosa (multibaciller)
ditegakkan dengan ditemukannya bakteri tahan asam pada sediaan yang diambil
dengan melakukan incisi pada kulit. Pada kusta tipe tuberkuloid (paucibaciller)
jumlah basil kemungkinan sangat sedikit sehingga sulit ditemukan pada
pemeriksaan. Dalam keadaan ini media kulit hendaknya dikirim kepada ahli
patologi yang berpengalaman dalam penegakkan diagnosa kusta. Timbulnya gejala
terserangnya saraf dan ditemukannya bakteri tahan asam merupakan gejala
patognopmonis kusta.
Diagnosis penyakit kusta masih tergantung pada
penemuan klinis dan bakterioiogis, yang sifatnya subyektif dan merupakan mata
rantai yang lemah dalam pemberantasan kusta. Dalam suatu penelitian ditemukan
bahwa rata-rata penyakit kusta baru ter-diagnosis setelah 2 tahun menderita dan
terdiagnosis rata-rata dalam 4,5 kali kunjungan.
Mycobacterium leprae
masih belum dapat dibiakkan dalam medium buatan, sehingga diagnosis yang tepat
dalam waktu pendek masih belum memungkinkan; teknik serologi untuk mengukur
antibodi spesifik terhadap antigen M. leprae masih belum memuaskan,
karena hanya bermakna pada penderita kelompok multibasiler, hampir tidak
berguna pada kelompok paucibasiler, dan masih belum dapat meramalkan secara
pasti kemungkinan sakit-tidaknya orang-orang sehat yang seropositip.
Akhir-akhir ini telah dikembangkan teknik menggunakan
enzim polimerase yang merupakan cara M. leprae yang sensitif, spesifik
dan cepat. PCR dikembangkan pentama kali oleh Mullis et all (1991) merupakan
cara invitro untuk memperbanyak DNA suatu mikroorganisme dengan
menggunakan enzim polimerase. Kelebihan penggunaan teknik PCR adalah
sensitivitas dan spesifisitasnya yang tinggi sehingga mampu mendeteksi M.
leprae secara akurat dan dalam waktu yang cepat. Selain itu dengan PCR
dapat ditentukan penderita pausibasiler, orang sehat carrier dan
sumber-sumber penularan lain seperti: alat-alat rumah tangga, lantai, pakaian
dan sebagainya. Kelemahan utama teknik PCR adalah besarnya biaya yang harus
dikeluarkan; kelemahan lain adalah bahwa PCR tidak mampu membedakan M.
leprae yang hidup dan yang mati.
2.5 Penanggulangan Penyakit Kusta
Penanggulangan
penyakit kusta telah banyak didengar dimana-mana dengan maksud mengembalikan
penderita kusta menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif dan percaya
diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari : metode pemberantasan dan
pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis,
rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang
merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat
membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga metode tersebut
merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Di Indonesia, tujuan program pemberantasan penyakit
kuista adalah menurunkan angka prevalensi penyakit kustra menjadi 0,3 per 1000
penduduk pada tahun 2000. Upaya yang dilakukan untuk pemberantasan penyakit
kusta melalui :
1. Penemuan penderita secara dini.
2. Pengobatan penderita.
3. Penyuluhan kesehatan di bidang kusta.
4. Peningkatan ketrampilan petugas kesehatan di bidang
kusta.
5. Rehabilitasi penderita kusta.
A. Penanggulangan Penyakit Kusta Melalui Pengobatan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah
memutus rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan
menyembuhkan penderita, dan mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu
sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih berdasarkan atas deteksi
dini dan penobatan penderita, yang tampaknya masih merupakan dua hal yang
penting meskipun nantinya vaksin kusta yang efektif telah tersedia. Dilihat
dari sejarahnya pengobatan kusta telah melalui beberapa fase perkembangan yaitu
dari era pre sulfon sampai ditemukannya obat-obat baru yang bersifat
mikobakterisidal yang lebih efektif.
Sampai tahun 1950 belum ditemukan obat yang efektif
untuk menyembuhkan penyakit kusta, satu-satunya cara untuk menangani penderita
kusta adalah dengan mengisolasi penderita ketempat penawatan khusus. Kemudian
ditemukan dapson, yaitu obat anti penyakit kusta yang pertama. Namun dalam dua
dekade berikutnya, ternyata dapson menjadi kurang efektif karena bakteri
penyebab kusta yaitu Mycobacterium leprae menjadi resisten, sehingga
pengobatan gagal dan penyakit akan kambuh lagi. Di-samping itu pengobatan yang
berlangsung lama sering meng-akibatkan penderita menjadi putus asa dan malas
berobat. Pada tahun 1981 WHO merekomendasikan penggunaan Multi Drug Therapy
(MDI), yaitu pengobatan baku terhadap pasien dengan kusta multibasil dan pasien
dengan kusta paucibasil. Regimen ini diharapkan efektif, dapat digunakan secara
luas dan diterima oleh semua pasien; sampai saat ini telah diterima se-bagai
pengobatan standar untuk penyakit kusta.
Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak ada pengobatan yang efektif untuk
kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi bakteri) yang lemah
terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson menyebabkan populasi
bakteri menjadi kebal. Pada 1960an, dapson tidak digunakan lagi.
Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik
dari dapson, akhirnya menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan
1970an. Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi
dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri.Terapi
multiobat dan kombinasi tiga obat di atas pertama kali direkomendasi oleh
Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini
menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak digunakan sebagai
obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri
Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup
sulit untuk masuk ke negara yang endemik. Pada 1985, kusta masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada Pertemuan Kesehatan
Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan sebuah resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah
kesehatan masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha
untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk
mengembangkan strategi penghapusan kusta.
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta
pada 1993 dan merekomendasikan dua tipe terapi multiobat
standar.Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa
dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan
untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.
Sejak 1995, WHO memberikan
paket obat terapoi kusta secara gratis pada negara endemik, melalui Kementrian
Kesehatan. Strategi ini akan bejalan hingga akhir 2010. Pengobatan multiobat
masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan pertama.
Cara ini aman dan mudah. jangka waktu pemakaian telah tercantum pada kemasan
obat.
Penyakit
kusta dapat diobati dan bukan penyakit turunan/kutukan.Tipe MB lama pengobatan
: 12 - 18 bulan.Tipe PB lama pengobatan : 6 - 9 bulanPengobatan Kusta dapat
dilakukan pada Puskesmas/Rumah Sakit/ UPK yang melakukan pengobatan kusta. Semua pengobatan kusta di Puskesmas/UPK/Rumah Sakit di
dapat secara gratis.
Di Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta
secara terintegrasi dengan unit pelayanan kesehatan (puskesmas sudah dilakukan
sejak pelita I). Adapun sistem pengobatan yang dilakukan sampai awal pelita III
yakni tahun 1992, pengobatan dengan kombinasi (MDT) mulai digunakan di
Indonesia.
Meskipun
obat-obat baru ditemukan tampaknya memberi harapan yang lebih cerah, namun
karena masih dalam evaluasi uji klinis maka regimen MDT masih dianjurkan dalam
program pemberantasan kusta di seluruh dunia termasuk di indonesia.
· Program MDT
Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika
kelompok studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan
kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen
MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifampisin dan
klofasimin. Selain untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,
penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan
menurnkan angka putus-obat (drop out rate) yang cukup tinggi pada masa
monoterapi dapson. Disamping itu diharapkan juga MDT dapat mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Obat dalam rejimen MDT-WHO
a. Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon). Obat ini
bersifat tidak seperti pada kuman lain, dapson bekerja sebagai antimetabolit
PABA. Resistensi terhadap
b. Rifampisin. Rifampisin merupakan obat yang paling
ampuh saat ini untuk kusta, dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim.
Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara
ireversibel.
c. Klofazimin. Obat ini merupakan turunan zat warna
iminofenazin dan mempunyai efek bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya
diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Disamping itu obat ini
juga mempunyai efek antiinflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi
kusta, kekurangan obat ini adalah harganya mahal, serta menyebabkan pigmentasi
kulit yang sering merupakan masalah pada ketaatan berobat penderita.
d. Etinamid dan protionamid. Kedua obat ini merupakan
obat tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta.
Selain
penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita kusta dapat menggunakan Lamprine
(B663), Rifanficin, Prednison, Sulfat Feros dan vitamin A (untuk menyehatkan
kulit yarlg bersisik). Setelah penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai
dengan peraturan maka ia akan menyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang
berarti tidak perlu lagi makan obat MDT dan dianggap sudah sembuh. Sebelum
penderita dinyatakan RFT, petugas kesehatan harus :
1.
Mengisi dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran tambahan RFT secara
teliti.
· Semua bercak masih nampak.
· Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak
kaki dan tangan.
· Semua syaraf yang masih tebal.
· Semua cacat yang masih ada.
2.
Mengambil skin semar (sesudah skin semarnya diambil maka penderita langsung
dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil skin semar).
3.
Mencatat data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan skin semar dibuku register.
Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas harus memberi penjelasan
tentang arti dan maksud RFT, yaitu :
Ø Pengobatan telah selesai.
Ø Penderita harus memelihara tangan dan kaki dengan baik
agar janga sampai luka.
Ø Bila ada tanda-tanda baru, penderita harus segera
datang untuk periksaan ulang.
Obat kusta baru.
Dalam plekasanaan program MDT-WHO ada beberapa masalah
yang timbul yaitu adanya persister, resistensi rifampisin dan lamanya
pengobatan terutama untuk kusta MB. Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru
dengan mekanisme bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat dalam rejimen
MDT-WHO saat ini. Idealnya, obat-obat kusta baru harus memenuhi syarat antara
lain bersifat bakterisidal kuat terhadap M.leprae, tidak antagonis
dengan obat yang sudah ada, aman dan akseptabilitas penderita baik, dapat
diberikan per oral dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sekali sehari.
Beberapa macam obat baru yang telah berhasil diidentifikasi untuk pengobatan
penyakit kusta adalah derivat dan rifamisin, antibiotik beta-lactam,
aminoglikosid, kuinolon(8) (pefloxacin, ofloxacin dan sparfioxacin) minosiklin,
klarithromisin, serta kombinasi antara ofloxacin dan rifamPisin. Diantara yang
sudah terbukti efektif adalah ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.
Ofloxacin Dan Rifampicin
Pada
tahun 1992 telah dilakukan percobaan obat dalam skala besar yang dilaksanakan
di tujuh negara yaitu: Brazil, Kenya, Mali, Myanmar, Pakistan, Filipina dan
Vietnam. Pengobatan ini
diberikan secara oral, yang merupakan gabungan antibiotik baru yaitu ofloxacin
dengan rifampisin. Dalam percobaan yang me-libatkan 4000 pasien tersebut,
dibandingkan penggunaan regi-men baru dengan regimen MDT standar, hasilnya
dapat dilihat setelah 4 sampai 5 tahun kemudian. Kombinasi dengan obat ini
ternyata dapat memperpendek waktu penyembuhan menjadi 1 bulan dibandingkan dengan
standar pengobatan yang sudah ada yaitu 6 bulan sampai 4 tahun.
Cara kerja antibiotik ofloxacin ini adalah membunuh
baksil lepra dengan menghambat enzim yang mengontrol jalannya DNA coils yang
masuk ke dalam baksil. Ofloxacin menjadi alternatif kedua setelah rifampisin
karena kecepatan dan efikasi-nya dalam membunuh baksil lepra yang telah
dilakukan pada percobaan dengan teknik foot pad pada mencit. Konsentrasi
minimum ofloxacin yang dibutuhkan untuk menghambat per-tumbuhan Myco bacterium
leprae adalah 50 mg/kg berat badan, sedangkan untuk rifampisin dan rifabutin
adalah 0.003% dan 0.00l%.
Penelitian saat ini ditekankan pada anggapan bahwa
ofloxacin dapat lebih membunuh baksil mutan yang resistan terhadap rifampisin.
Akan tetapi karena kombinasi rifampisin dan ofloxacin lebih mahal daripada
dapson dan clofazimine, pengobatan baru yang lamanya 4 minggu menjadi sama
besar biayanya dengan standar pengobatan yang 6 bulan atau 2 tahun. Namun
dengan penggunaan yang lebih luas maka biaya pengobatan dengan ofloxacin dapat
ditekan sehingga tujuan untuk eliminasi lepra pada tahun 2000 dapat cepat
tercapai.
Minosiklin
Di
antara turunan tetrasiklin, monosiklin merupakan satu-satunya yang aktif
terhadap M.leprae. hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat
lipofiliknya sehingga menyebabkan ia mampu menembus dinding sel M.leprae
dibandingkan dengan turunan lain. Minosiklin bekerja dengan menghambat sintesis prorein melalui mekenisme
yang berbeda dengan obat antikusta yang lain.
Klaritromisin
Dibandingkan obat lain golongan makrolid,
klaritromisin mempunyai aktivitas bakterisidal setara dengan ofloksasin dan
minosiklin. Obat ini juga bekerja dengan menghambat sintesis protein melalui
mekanisme yang lain daripada minosiklin.
B. Penanggulangan Penyakit Kusta melalui Rehabilitasi
a. Rehabilitasi Medik
Kiranya tidak perlu diragukan lagi bahwa timbulnya
cacat pada penyakit kusta merupakan salah satu hal yang paling penting
ditakuti. Dari hasil penelitian pada bulan Maret 1996 di RSK SITANALA,
menunjukkan bahwa lebih dari 73% pasien yang datang berobat di poliklinik telah
disertai cacat kusta. Walaupun dengan pengobatan yang benar dan teratur
penyakit kusta dapat disembuhkan, akan tetapi cacat yang telah timbul atau
mungkin yang akan timbul merupakan persoalan yang cukup kompleks. Bila hal ini
tidak ditangani secara benar, maka akan berlanjut semakin parah serta berakhir
fatal. Makin berat keadaan suatu cacat, maka makin cepat pula keadaan memburuk.
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai
pengelolaan yang baik dan benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan
rehabilitasi medik secara terpadu, mulai dari pengobatan, psikoterapi,
fisioterapi, perawatan luka, bedah rekonstruksi dan bedah septik, pemberian
alas kaki, protese atau alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula
diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial (rehabilitasi
nonmedis), agar mantan pasien kusta dapat siap kembali ke masyarakat, kembali
berkarya membangun negara, dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan terpadu
pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan. Rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial merupakan satu kesatuan kegiatan yang dikenal
sebagai rehabilitasi paripurna.
Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat
program rehabilitasi medik yang terencana dan terorganisasi. Dokter, terapis
dan pasien harus bekerjasama untuk mendapat hasil yang maksimal. Pengetahuan
medis dasar yang perlu dikuasai adalah anatomi anggota gerak, prinsip dasar
penyembuhan luka, pemilihan dan saat yang tepat untuk pemakaian modalitas
terapi dan latihan. Diagnosis dan terpai secara dini, disusul dengan perawatan
yang cermat, akan mencegah pengembangan terjadinya kecacatan. Perawatan
terhadap reaksi lepra mempunyai 4 tujuan, yaitu :
1. Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula
dari gangguan sensorik, paralisis, dan kontraktur.
2. Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.
3. Kontrol nyeri.
4. Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah
perburukan keadaan penyakit.
Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih
bersifat pencegahan kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan
pada pencegahan handicap dan mempertahankan kemampuan fungsi yang tersisa.
Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pasien adalah :
a. Pemeliharaan kulit harian
1. cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja
dengan sedikit sabun (jangan detergen)
2. Rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin
3. kalau kulit sudah lembut. Gosok kaki dengan karet
busa agar kulit kering terlepas.
4. kulit digosok dengan minyak.
5. secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan,
hot spot, nyeri, luka dan lain-lain)
b. Proteksi tangan dan kaki
1. Tangan :
- pakai sarung tangan waktu bekerja
- stop merokok
- jangan sentuh gelas/barang panas secara langsung
- lapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan
lembut
2. Kaki
- selalu pakai alas kaki
- batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan
perlahan
- meninggikan kaki bila berbaring
c. Latihan fisioterapi
Tujuan latihan adalah :
· Cegah kontraktur
· Peninkatan fungsi gerak
· Peningkatan kekuatan otot
· Peningkatan daya tahan (endurance)
1. latihan lingkup gerak sendi : secara pasif
meluruskan jari-jari menggunakan tangan yang sehat atau dengan bantuan orang
lain. Pertahankan 10 detik, lakukan 5 – 10 kali per hari untuk mencegah
kekakuan. Frekuensi dapat ditingkatkan untuk mencegah kontraktur. Latihan
lingkup gerak sendi juga dikerjakan pada jari-jari ke seluruh arah gerak.
2. Latihan aktif meluruskan jari-jari tangan dengan
tenaga otot sendiri
3. Untuk tungkai lakukan peregangan otot-otot tungkai
bagian belakang dengan cara berdiri menghadap tembok, ayunkan tubuh mendekati
tembok, sementara kaki tetap berpijak.
4. Program latihan dapat ditingkatkan secara umum
untuk mempertahankan elastisitas otot, mobilitas, kekuatan otot, dan daya
tahan.
d. Bidai
Pembidaian dapat dilakukan untuk jari dan pergelangan
tangan agar tidak terjadi deformitas. Bidai dipasang pada anggiota gerak
fungsional saat timbul reaksi penyakit. Bidai dapat mengurangi nyeri dan
mencegah kerusakan saraf. Dianjurkan memakai bidai yang ringan yang dipakai
sepanjang hari, kecuali pada waktu latihan lingkup gerak sendi.
e. Dapat di buat sepatu khusus, sesuai dengan
deformitas yang terjadi.
f. Program terapi okupasi merupakan program yang
sangat penting untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan menolong diri,
tetapi perlu diingat hal-hal yang harus diperhatikan untuk melindungi alat
gerak dari bahaya pekerjaan rumah tangga. Alat bantu khusus dapat dibuat untuk
kemudahan bekerja, sesuai dengan deformitas pasien.
1. latihan reedukasi motorik
- diawali dengan latihan lingkup gerak sendi dan
latihan peregangan.
- Memanfaatkan alat bantu kerja, dilakukan gerakan
motorik tangan dan jari-jari, sekaligus melatih koordinasi gerak dengan bagian
ekstremitas yang sehat.
- Gerak terampil tangan dan jari
- Latihan posisi dan postur pasif dan aktif.
2. latihan reedukasi sensorik
- Latihan ini akan meningkatkan kualitas sensori
pasien, dan menolong pasien untuk mencari alternatif lain untuk meningkatkan
sensibilitas sehingga kapasitas fungsional juga meningkat
- Latihan sensorik bertahap, mulai dari sentuhan
kasar, sampai halus, dingin dan hangat.
- Latihan pengenalan bentuk berbagai benda.
3. latihan aktivitas menolong diri
4. latihan aktivitas rumah tangga
5. latihan aktivitas kerja
6. latihan daya tahan kerja
g. Dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan
merupakan hal yang harus dilaksanakan. Bila ada masalah, evaluasi psikologis
dan evaluasi kondisi sosial, dapat dijadikan titik tolak program terapi
psikososial.
b. Rehabilitasi Nonmedik
Meskipun penyakit kusta tidak menyebabkan kematian,
namun penyakit ini termasuk penyakit yang paling ditakuti diseluruh dunia.
Penyakit ini sering kali menyebabkan permasalahan yang sangat kompleks bagi
penderita kusta itu sendiri, keluarga, dan masyarakat. Pada penyakit kusta ini
dikenal 2 jenis cacat yaitu cacat psikososial dan cacat fisik.
Seringkali penyakit kusta di identikkan dengan cacat
fisk yang menimbukan rasa jijik atau ngeri serta rasa takut yang berlebihan
terhadap mereka yang melihatnya. Akibat hal-hal tersebut di atas, meskipun
penderita kusta telah diobati dan dinyatakan sembuh secara medis, akan tetapi
bila fisinya cacat, maka predikat kusta akan tetap melekat untuk seluruh sisa
hidup penderita, sehingga ia dan keluarganya akan dijauhi oleh masyarakat di
sekitarnya.
Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita sering kali
tida dapat menerima keputusan bahwa ia menderita kusta. Akibatnya aka nada
perubahan mendasar pada kepribadian dan tingkah laku penderita. Ia akan selalu
sedapat mungkin menyembunyikan keadaannya sebagai seorang penderita kusta. Hal
ini tidak menunjang proses pengobatan dan kesembuhan, sebaliknya kan
memperbesar resiko timbulnya caca bagi penderita itu sendiri. Tentu saja semua
tersangka kasus kusta harus diperiksa secara cermat dan hati-hati sekali untuk
menghindari salah diagnosis, karena setiap kesalahan dalam penegakkan diagnosis
akan dapat menimbulkan beban psikis dan dampak social yang tidak hanya dapat
dialami oleh penderita itu sendiri, tetapi juga terhadap keluargannya.
Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta
lebih menonjol dibandingkan dengan masalah medisnya sendiri. Hal ini disebabkan
oleh karena adanya stigma leprofobi yang banyak dipengaruhi oleh berbagai paham
keagamaan, serta informasi yang keliru tentang penyakit kusta. Sikap dan
perilaku masyarakat yang negative terhadap penderita kusta seringkali
menyebabkan penderita kusta tidak mendapatkan tempat di dalam keluarganya dan
masyarakat lingkungannya.
Setelah
diagnosis ditegakkan, maka upaya rehabilitasi harus segera dimulai sedini
mungkin, sebaiknya sebelum pengobatan kusta itu dimulai dan dilakukan secara
terus menerus secara paripurna sampai ia dapat mencapai kemandirian dan hidup
bermasyarakat seperti sediakala. Dengan kata lain tujuan akhir rehabilitasi adalah resosialisasi penderita
itu sendiri.
Pengobatan penyakit kusta sangat penting untuk
memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya cacat fisik. Bila
pengobatan tersebut tidak diimbangi oleh rehabilitasi mental, maka akan sulit
dicapai partisipasi aktifdari penderita agar berobat teratur dan menyelesaikan
secara tuntas program pengobatan yang telah dianjurkan. Cacat psikososial ini
mulai dirasakan oleh penderitasejak saat ia dinyatakan menderita penyakit kusta
dan bila hal tersebut mulai diketahui oleh keluarganya maupun oleh masyarakar
di sekitarnya. Hal ini akan bertambah berat bila ia merupakan tumpuan hidup dan
sumber nafkah bagi keluarganya. Dalam banyak hal ia dapat kehilangan sumber
penghasilannya dan memperburuk keadaannya beserta keluarga.
Untuk mengindari terjadinya hal-hal tersebut, maka
bila ada keragu-raguan meskipun sedikit saja, sebaiknya segera merujuk
penderita kepada mereka yang dianggap lebih berpengalaman. Setelah diagnosis
kusta ditegakkan, maka pengobatan harus segera dimulai, disertai upaya
rehabilitasi mental terhadap penderita, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya.
Pengobatan penyakit kusta tidak boleh diberikan bila
seseorang belum dapat dipastikan menderita penyakit kusta atau penyakitnyamasih
diragukan. Komplikasi antara lain seperti penyakit kusta, harus ditangani
sedini mungkin dan secara adekuat untuk mencegah terjadinya cacat kusta.
Andaikata cacat kusta te lah terjadi, maka upaya rehabilitasi untuk mencegah
berlanjutnya cacat harus segera dilakukan.
Bila
tanda-tanda cacat kusta sudah sedemikian jelas, tetapi hasil pemeriksaan
klinis, bakteriologis, dan histopatologis menyatakan bahwa penyakit kusta dalam
keadaan inaktif, maka pengobatan tidak diperlukan lagi dan hanya dilakukan
upaya-upaya rehabilitasi. Pada penderita harus ditekankan bahwa obat-obat kusta
tidak dapat menyembuhkan cacat fisik yang telah ada, supaya ia tidak mencari
pengobatan di luar ketentuan yang telah digariskan oleh Departemen Kesehatan. Pengobatan hanya diberikan pada penderita kusta aktif,
dengan atau tanpa cacat kusta.
· Rehabilitasi Mental
Seperti telah dijelaskan, setiap penderita yang
dinyatakan menderita penyakit kusta akan mengalami kegoncangan jiwa dan
masing-masing mempunyai cara sendiri untuk bereaksi terhadap keadaan ini. Ada
yang segera dapat menerima keadaan inidan segera mancari pertolongan medis,
adapula yang berusaha menolak kenyataan dengan mencari pertolongan alternative
termasuk berobat pada dukun, tabib dan sebagainya. Dan adapula yang merasa
rendah diri mengalami depresi, menyendiri, menyembunyikan dirinya karena malu,
dan adapula yang berfikir untuk melakukan tindakan bunuh diri.
Pada umumnya mereka dibayang-bayangi oleh ketakutan
yang sangat mendalam akan timbulnya cacat fisik akibat penyakit ini. Suatu hal
yang perlu kita sadari bahwa tidak seorang sehatpun ingin mendapatkan cacat
dalam kehidupannya. Hal ini merupakan dasar bagi setiap petugas kesehatan dalam
melakukan penyuluhan kusta. dengan menekankan bahwa sebenarnya penyakit kusta
bila diobati secara dini dan benar akan dapat mengurangi risiko terjadinya
cacat semaksimal mungkin. Penyuluhan kesehatan berupa bimbingan mental, harus
diupayakan sedini mungkin pada setiap penderita, keluarganya, dan masyarakat
sekitarnya, untuk memberikan dorongan dan semangat agar mereka dapat menerima
kenyataan ini. Selain itu juga agar penderitadapat segera mulai menjalani
pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis.
Informasi yang perlu disampaikan antara lain sebagai berikut:
· Tentang penyakit kusta dan
pengobatannya
· Hal-hal yang berkaitan dengan
stigma dan leprofobi
· Masalah psikososial kusta
· Komplikasi, misalnya neuritis
dan reaksi yang sering sekali timbul selama proses pengobatan dan setelah
pengobatan selesai
· Proses terjadinya cacat kusta
dan berlanjutnya cacat tersebut.
· Peran serta masyarakat pada
penanggulangan penyakit kusta.
· Masalah rujukan dan rumah
sakit rujukan.
· Dan lain-lain yang dianggap
perlu, misalnya rehabilitasi, berbagai upaya kesehatan terhadap penyakit kusta.
Hal-hal ini harus disampaikan oleh petugas kesehatan
kepada penderita dan keluarganya sebelum pengobatan kusta dimulai, secara
sederhana dan mudah dimengerti oleh mereka. Hanya dengan demikian kita dapat
mengharapkan keberhasilan penanggulangan penyakit kusta secara paripurna.
Petugas kesehatan, baik tenaga medis maupun paramedic
harus dibekali dengan pengatahuan kusta yang memadai supaya terampil dalam
memberikan penyuluhan kusta dengan baik dan bermanfaat. Bimbingan mental ini
harus didukung juga oleh partisipasi aktif dari pemuka masyarakat dan pemuka
agama pada setiap kesempatan yang ada.
Tanpa dibekali informasi yang tepat tentang hal-hal
tersebut, maka penderita cenderung memnjadi bosan menghadapi masa pengobatan
yang panjang dan itu-itu saja, sehingga ia akan berobat semaunya secara tidak
teratur. Lebih celaka lagi bila selama mmasa pengobatan timbul komplikasi
berupa neuritis atau reaksi yang memperburuk kondisi tubuhnya, sehingga timbul
pikiran negative untuk menghentikan saja pengobatan yang telah berjalan dengan
baik dan mencari pertolongan pengobatan secara alternatif.
Ketidakteraturan berobat, dan menghilangnya penderita
tanpa melanjutkan pengobatannya menimbulkan banyak masalah dalam keberhasilan
upaya penanggulangan penyakit kusta. Hal ini akan memperbesar risiko kecacatan
dan resistensi terhadap obat kusta. Dengan timbulnya cacat kusta, upaya
penanggulangan penyakit kusta akan menjadi bertambah berat karena diperlukan
rehabilitasi medis dan nonmedis yang lebih komleks dan biaya yang lebih besar.
Hal ini akan menjadi beban bagi Negara dan bangsa.
Walaupun pengobatan medis kusta dan upaya rehabilitasi
ini berhasil dilakukan, tetapi dengan adanya stigma dan leprofobi akan timbul
banyak kendala dalam memasyarakatkan kembali penderita dan bekas penderita
kusta. Tetapi, dengan memberikan informasi yang benar tentang penyakit kusta
serta menanamkan pengertian yang baik, maka stigma dan leprofobi dapat
dikurangi dan ditekan hingga seminimal mungkin.
Dengan demikian penyakit kusta dapat dianggap sama
seperti penyakit menular lainnya dan penderita kusta dapat diterima dan
diperlakukan secara wajar oleh masyarakat dengan hak yang sama seperti orang
sehat yang lain.
· Rehabilitasi
Karya
Tidak
semua penderita kusta bila sembuh data kmbali bekerja pada pekerjaan semula,
apalagi bila pekerja terlanjur mengalam cacat fisik. Walaupun telah diupayakan rehabilitasi medis dan
dinyatakan sembuh dari penyaitnya, mantan enderita tidak data melaukan
pekerjaan yang sama seperti sedia lkala. Dalam banyak hal adanya stigma atau
leprofobia akan menyebabkan penderita (mantan) kerap kali menghadapi kebdala
social, sehungga perl u mengganti jenis pekerjaan untuk memugkinkan mencari
nafkah bagi diri dan keluarganya. Adanya hilang rasa (anastesi) pada palmar
atau dan plantar menyebabkan pekerjaan tertentu harus dihindari.
Upaya
rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita yang sudah erlanjur cacat dapat
kembali melakukan pekerjaan yang sama, atau dapat melatih diri terhadap pekerjaan
baru sesuai dengan tingkat cacat, pendidikan dan pengalaman bekerja sebelumnya.
Disampng itu penempatan di
tempat kerja yang aman dan tepat akan mengurangi risiko berlanjutnya cacat pada
penderita kusta.
· Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social
ekonomi pernderita. Hal ini sangat sulit dicapai oleh penderita sendiri tanpa
partisipasi aktif dari masyarakat di sekitarnya. Rehabilitasi social bukanlah
bantuan sosia yang harus diberikan secara terus menerus, melaikan upaya yang
bertujuan untuk menunjang kemandirian penderita. Upaya ini dapat berupa :
1. Memberikan bimbingan
social.
2. Memberikan peralatan kerja.
3. Memberikan alat bantu
cacat, misalnya kursi roda atau tongkat jalan.
4. Memberikan bantuan
penempatan kerja yang lebih sesuai dengan keadaan cacatnya.
5. Membantu membeli/memakai
hasil-hasil usaha mereka
6. Membantu pemasaran
hasil-hasil usaha mereka.
7. Memberi bantuan kebutuhan
pokok, misalnya pangan, sandang, papan, jaminan kesehatan, dan sebagainya.
8. Memberikan permodalan bagi
usaha wiraswasta.
9. Member bantuan pemulangan
ke daerah asal.
10. Memberikan bimbingan
mental/spiritual.
11. Memberikan pelatihan
ketrampilan/magang kerja dan sebagainya.
Dari segala
upaya tersebut , sangat diharapkan peran serta masyarakat dalam menunjang
keberhasilan resosiaisasi mereka. Semua akan dapat terlaksana dengan baik
apabila stigma dan leprofobi dapat ditekan hingga seminimal mungkin. Dengan
demikian kehadiran mereka dapatditerima oleh masyarakat, hasil karya dan usaha
mereka mau dibeli serta dipakai oleh masyarakat. Tanpa partisipasi, maka segala
usaha tersebut tidak akan berhasil.
2.7 Upaya Pencegahan Penyakit Kusta
Hingga
saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian
dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan
menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor
pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga
penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan
kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara
teratur. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara
pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup
24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan
cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta
mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.
Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak
dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat
penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan demikian
penting sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada setiap
orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan
pengajaran bahwa :
a.
Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
b.
Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta
c.
Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
d.
Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan secara
teratur
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada makalah yang kami
buat, dapat di simpulkan sebagai berikut :
1. Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang
syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang
mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.
2. Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003
menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita terbesar,
diikuti oleh Brasil dan Myanmar.
3. Indonesia memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah
rawan penyakit kusta. Jawa Timur termasuk di dalamnya.. Jatim menyandang beban
sebagai daerah rawan ini bersama Irian Jaya bagian barat, Papua, Jawa Tengah,
Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku
Utara, NTT, NTB, Aceh, dan DKI Jakarta.
4.
Penderita penyakit kusta pada tahun 2005 di Sulawesi Tenggara sebanyak 267
penderita sedangkan pada tahun 2006 sebanuyak 264 penderita tersebar di semua
kabupaten yaitu kabupaten konawe 21, kabupaten muna 26 penderita, kabupaten
kolaka sebanyak 41 penderita, kabupaten buton sebanyak 48 penderita, kota
kendari sebanyak 32 pendeita, kota Bau-bau sebanyak 45 penderita, kabupaten
Konawe Selatan sebanyak 5 penderita, Kab.Bombana sebanyak 19 penderita.
5.
Klasifikasi bentuk-bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang
penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan
penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,
histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk
pemberantasan yaitu tipe tuberkoloid (TT), tipe borderline tubercoloid (BT),
Tipe mid borderline (BB), Tipe borderline lepromatosa, tipe lepromatosa (LL)
6. Tanda-tanda penyakit
kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini
hanya akan disajikan tanda-tanda secara umum tidak terlampau mendetail, agar
dikenal oleh masyarakat awam, yaitu :
· Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh
manusia
· Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi
lama-lama semakin melebar dan banyak.
· Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris,
medianus, aulicularis magnus seryta peroneus.
· Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi
tipis dan mengkilat.
· Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig
tersebar pada kulit
· Alis rambut rontok
· Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies
leomina (muka singa)
7. Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae.
Dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk
batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1 – 8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan
bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan
terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan
sebagai basil “tahan asam”.
8. Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang
diketahui berperan sebagai reservoir.
9. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita
kusta tipe multi basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung.
Penularan yang pasti belum diketahui, tapi sebagian besar para ahli berpendapat
bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit.
10. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa
minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum
dilaporkan selama 30 tahun. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi
rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
11. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan
tanda kardinal (tanda utama), yaitu bercak kulit yang mati rasa, penebalan
saraf tepi, ditemukannya kuman tahan asam. Diagnosa kusta dan klasifikasi harus
dilihat secara menyeluruh dari segi :
a.
Klinis
b.
Bakteriologis
c.
Immunologis
d.
Hispatologis
12. Metode penanggulangan
ini terdiri dari : metode pemberantasan dan pengobatan, metode rehabilitasi
yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya
dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana
penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri..
13. Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika
kelompok studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan
kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen
MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifampisin dan
klofasimin.
14. Dalam plekasanaan program MDT-WHO ada beberapa
masalah yang timbul yaitu adanya persister, resistensi rifampisin dan lamanya
pengobatan terutama untuk kusta MB. Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru
dengan mekanisme bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat dalam rejimen
MDT-WHO saat ini. Beberapa macam obat baru yang telah berhasil diidentifikasi
untuk pengobatan penyakit kusta adalah derivat dan rifamisin, antibiotik
beta-lactam, aminoglikosid, kuinolon(8) (pefloxacin, ofloxacin dan
sparfioxacin) minosiklin, klarithromisin, serta kombinasi antara ofloxacin dan
rifamPisin. Diantara yang sudah terbukti efektif adalah ofloksasin, minosiklin
dan klaritromisin.
15. Rehabilitasi medik berupa pemeliharaan kulit
harian, proteksi tangan dan kaki, latihan fisioterapi, bidai, dapat di buat
sepatu khusus, sesuai dengan deformitas yang terjadi, program terapi okupasi
merupakan program yang sangat penting untuk mempertahankan dan meningkatkan
kemampuan menolong diri, dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan
merupakan hal yang harus dilaksanakan.
16. Rehabilitasi nonmedik terdiri dari rehabilitasi
mental, rehabilitasi karya, rehabilitasi sosial.
17. Penyuluhan kusta
kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran bahwa :
· Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
· Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin
terkena kusta
· Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada
orang lain
· Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati
kira-kira 6 bulan secara teratur.
3.2 Saran
Berdasarkan fenomena dari makalah di atas, beberapa
saran yang dapat kami berikan sebagai berikut :
1. Agar pemerintah lebih meningkatkan upaya penyuluhan
mengenai penyakit menular khususnya penyakit kusta.
2. Agar tugas pembuatan makalah seperti ini lebih
sering diberikan agar dapat menambah pengetahuan bagi mahasiswa dan pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Daili, dkk.
1998. Kusta. UI PRES. Jakarta.
Djuanda,
Edwin. 1990. Rahasia Kulit Anda. FKUI. Jakarta.
Graham,
Robin. 2002. Lecture Notes Dermatologi. Erlangga. Jakarta.
Melniek,
dkk. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Unair. Surabaya.
Nadesul,
Hendrawan. 1995. Bagaimana Kalau Terkena Penyakit Kulit. Puspa Swara. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar